PENDAHULUAN
Manusia terus belajar sepanjang hidupnya. Hampir semua pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku manusia dibentuk, diubah, dan berkembang melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga dapat terjadi kapan saja, dan di mana saja.
Belajar merupakan suatu kegiatan berproses. Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatannya adalah pendekatan behavioral. Pendekatan behavioral dalam pembelajaran merupakan suatu pendekatan yang menekankan pembelajaran melalui aspek-aspek yang dapat dilihat (observable). Menurut teori behavioral, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Lebih tepatnya, belajar adalah perubahan yang dialami seseorang dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap belajar apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
Pendekatan behavoristik memiliki pandangan atau prinsip yang dikembangkan oleh beberapa tokoh behavioral. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini, termasuk bagaimana menggunakan prinsip-prinsip tingkah laku tersebut untuk mengubah atau memodifikasi perilaku dan menerapkannya dalam pembelajaran.
BAB II
PENDEKATAN BEHAVIORAL DALAM PEMBELAJARAN
A. Teori Belajar di dalam Behavioral
1. Classical Conditioning (Pengkondisian Klasik)
Classical Conditioning dipopulerkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Istilah ini sering juga disebut dengan “Respondent Conditioning” atau “Pavlovian Conditioning”. Classical Conditioning adalah tipe pembelajaran dimana seseorang belajar untuk mengkaitkan atau mengasosiasikan stimulus (Santrock, 2007).
Pavlov mengemukakan beberapa prinsip dalam classical conditioning, yaitu:
1. Generalisasi.
Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk menghasilkan respon yang sama.
Ada 2 fakta generalisasi yang perlu diperhatikan (Elliot, 1999):
a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada stimulus itu saja.
b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang.
2. Diskriminasi.
Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus lainnya. Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak memberi makan setelah membunyikan suara lainnya. Akibatnya anjing hanya merespon suara bel.
3. Pelenyapan (extinction)
Dalam classical conditioning, pelenyapan berarti pelemahan Conditioned Response (CR) karena tidak adanya Conditioned Stimulus (CS) (Santrock, 2007). Dalam eksperimennya, Pavlov mendapati bahwa dengan memperdengarkan bunyi bel saja (tanpa makanan) anjing tidak lagi mengeluarkan air liur.
2. Operant Conditioning (Pengkondisian Operan)
Operant Conditioning dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904 – 1990). Operant Conditioning dinamakan juga Instrumental Conditioning. Pemikiran Skinner awalnya didasarkan dari pandangan E.L Thorndike.
Eksperimen Thorndike:
Prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme belajar dengan cara mencoba-coba (trial and error). Thorndike juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara perlahan, bukan secara tiba-tiba. Belajar terjadi secara incremental (bertahap), bukan secara insightful (Hergenhahn & Olson, 1997). Jika organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serangkaian tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Individu mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu.
Dalam proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) :
a. Hukum efek (The Law of Effect)
Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka perilaku akan melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilaku (Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.
b. Hukum latihan (The Law of Exercise)
Pada awalnya, hukum ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang.
2. Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.
Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini. Thorndike menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement. Latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya (Elliot, 1999).
c. Hukum kesiapan (The Law of Readiness)
Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois, 2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas. Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007).
Operant Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :
1. Reinforcement (penguat atau imbalan)
Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas suatu perilaku terjadi lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996). Ada dua bentuk reinforcement :
a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.
b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan.
Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (McCown, dkk., 1996) :
a. Primary reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis yang sifatnya tanpa perlu dipelajari.
b. Secondary reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang sifatnya harus dipelajari.
c. Pairing, yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan secondary reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang diberikan kepada individu.
2. Punishment (hukuman)
Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan menurunkan terjadinya perilaku (McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan suatu perubahan yang sifatnya segera. Perubahan ini memerlukan suatu tindakan yang terkadang membuat individu merasa terancam secara fisik dan psikis. Hukuman adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus baru, yang bagi individu dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan.
Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:
a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.
b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.
Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan. Namun, reinforcement sebaiknya diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu. Berikut beberapa macam pemberian reinforcement (Leffrancois, 2000):
a. Continuous Reinforcement
yaitu reinforcement yang diberikan pada setiap respon yang benar.
b. Intermitten atau Partial Reinforcement,
yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut 2 kategori :
1. Pemberian penguatan berdasarkan jumlah respon (ratio schedule)
2. Pemberian penguatan berdasarkan selang waktu (interval schedule).
Waktu pemberian reinforcement dengan ratio atau interval schedule ini masih dapat dibedakan menjadi 2, yaitu fixed schedule dan random/variable schedule.
B. Strategi Mengubah Perilaku
Berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan behavioral, ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku. Strategi ini berdasarkan dua tujuan dalam mengubah perilaku.
1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan.
a. Memilih reinforcement yang tepat
Memilih reinforcement yang paling tepat merupakan hal yang penting karena tidak semua penguat akan mempunyai efek yang sama bagi setiap siswa. Guru sebaiknya mencari tahu reinforcement apa yang paling efektif untuk masing-masing siswa. Misalnya, untuk seorang siswa diberikan pujian, sedangkan untuk siswa lain diberi hadiah. David Premack menemukan prinsip yang menyatakan bahwa aktivitas yang berprobabilitas tinggi dapat digunakan sebagai penguat aktivitas berprobabilitas rendah (Henson & Eller, 1999). Misalnya, guru ingin membiasakan siswa untuk memakan sayuran di menu makan siang mereka. Ketika siswa berhasil menghabiskan sayuran yang ada di piringnya, kemudian guru memberikan segelas es krim kesukaan siswa.
b. Memilih schedule reinforcement yang terbaik
Pemilihan reinforcement yang tepat sebaiknya diiringi dengan pemilihan schedule reinforcement yang tepat pula. Skinner berpendapat bahwa sebuah reward kecil yang sering diberikan akan jauh lebih efektif dalam membentuk dan mempertahankan perilaku dibanding reward besar tetapi jarang diberikan (Leffrancois, 2000).
c. Menjadikan reinforcement kontingen dan tepat waktu
Reinforcement akan lebih efektif jika diberikan tepat waktu, segera setelah siswa melakukan perilaku yang diinginkan. Hal ini akan membuat siswa mampu membuat hubungan kontingensi imbalan dan perilaku mereka (Santrock, 2007).
d. Menggunakan prompt, shaping, dan chaining
- Prompt (dorongan) adalah stimulus atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon itu akan terjadi (Leffrancois, 2000). Dapat berupa dorongan verbal maupun non-verbal.
- Shaping adalah suatu prosedur dimana perilaku yang secara berturut-turut mirip dengan perilaku sasaran akan diperkuat (McCown, dkk., 1996). Shaping sangat diperlukan karena banyak perilaku baru yang sifatnya kompleks sehingga harus dipelajari secara bertahap.
- Chaining adalah stimulus tambahan yang yang diberikan untuk memperkuat perilaku sasaran dengan cara membagi perilaku menjadi beberapa bagian kecil (McCown, dkk., 1996).
2. Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan
a. Menghentikan reinforcement atau melakukan extinction (pelenyapan)
Extinction dapat digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak tepat atau tidak pantas (Henson & Eller, 1999). Seringkali suatu perilaku yang tidak tepat justru secara tidak sengaja dipertahankan, yaitu dengan adanya perhatian. Extincion dapat diberikan sepanjang perilaku yang dilakukan siswa bukan perilaku yang merusak secara berlebihan.
b. Menghilangkan stimulus yang diinginkan.
Penghilangan positive reinforcement ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Elliot, 1999) :
Time out, yaitu individu kehilangan waktunya yang menyenangkan.
Response cost, yaitu individu dijauhkan dari reinforcement positif.
Dalam penerapannya, sebaiknya time–out dan response cost harus diiringi dengan strategi untuk meningkatkan perilaku positif murid.
c. Memberikan stimulus yang tidak disukai (hukuman)
Prinsip dasar hukuman adalah menurunkan perilaku yang tidak tepat atau tidak diinginkan. Hukuman akan lebih efektif dilakukan jika sebelumnya didahului dengan peringatan dan digunakan untuk mengkomunikasikan kepada siswa, perilaku apa yang salah atau tidak tepat (Azrin & Holz; Walters & Grusec, dalam Henson & Eller, 1999). Namun, hukuman sebaiknya tidak sering diberikan karena memiliki sisi atau dampak negatif. Suatu penelitian juga menemukan bahwa ketika orang tua menggunakan tamparan untuk mendisiplinkan anak mereka saat masih berusia 4 atau 5 tahun, tamparan itu justru meningkatkan perilaku bermasalah (McLoyd & Smith dalam Santrock, 2007).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan behavioral dalam pembelajaran menekankan pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui proses yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut pandangan ini, pemikiran, perasaan, dan motif bukan subyek yang tepat untuk ilmu perilaku sebab semua itu tidak bisa diobservasi secara langsung. Pembelajaran pada teori ini menekankan kepada pembelajaran asosiatif, yaitu dua kejadian yang saling terkait. Misalnya, pembelajaran asosiatif terjadi ketika murid mengaitkan kejadian yang menyenangkan dengan pembelajaran sesuatu di sekolah.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
1) Mementingkan pengaruh lingkungan
2) Mementingkan bagian-bagian (elementalistik)
3) Mementingkan peranan reaksi
4) Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
5) Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
6) Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
7) Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Kelebihan Teori Belajar Behavioristik
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behavioristik akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kekurangan Teori Belajar Behavioristik
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasarkan karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.
B. Saran
- Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, pendekatan behavioral cukup efektif dalam proses belajar yang hanya melibatkan proses mental sederhana dan pembiasaan perilaku yang membutuhkan control external. Sebagai saran, untuk pembelajaran yang melibatkan proses mental yang lebih kompleks dapat digunakan pendekatan yang lain atau kombinasi pendekatan behavioral dengan pendekatan yang lain.
- Pengkondisian adalah yang paling penting dari teori ini
- Dalam olahraga (terkait dengan teori behavioristik):
Pengulangan-pengulangan yang menghasilkan “otomatisasi” ---- menjadi permanen.
Pola pengajaran yang kurang tepat membuat siswa melakukan hal-hal yang sudah permanen –salah-, membuat kita mengalami kesulitan untuk memprebaikinya kembali. Sehingga yang harus dilakukan adalah penyiapan SDM/guru penjas dimulai dari PAUD dan SD.
DAFTAR PUSTAKA
1) Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J., & Travers, J. F. 1999. Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
2) Henson, K. T & Eller, B. F. 1999. Educational Psychology for Effective Teaching. Wadsworth : Wadsworth Publishing Company.
3) Hergenhann, B. R. & Olson, M. H. 1997. An Introduction to Theories of Learning: Fofth Edition. NJ : Prentice-Hall.
4) Lefrancois, Guy, R. 2000. Psychology for Teaching. London: Thomson Learning.
5) McCown, R., Drescoll, M., & Roop, P. R. 1996. Educational Psychology : Learning- Centered Approach to Classroom Practice. Boston : Allyn & Bacon.
6) Brandi Davison, 2006. Behavioral, Cognitive, and Humanitic Theories of Learning. Associated Content. http://mobile.associatedcontent.com/article/94979/behavioral_cognitive_and_humanistic.html.
7) Irene Chen, 2010. Behavioral Theories. An Electronic Textbook on Instructional Technology, http://viking.coe.uh.edu/~ichen/ebook/et-it/behavior.htm.
8) AllPsych & Heffner Media Group, 2003. Psychology 101, Chapter 4: Learning Theory and Behavioral Psychology. http://allpsych.com/psychology101/learning.html.
9) Learning Theories, 2010.Behaviorism.Learning-Theories.com. http://www.learning-theories.com/behaviorism.html
10) W. Huitt & J. Hummel, 1999.Behavioral Theories: Define and Contrast The Tree Types of Behavioral Learning Theories. http://teach.valdosta.edu/../behthr.ppt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar