belajar untuk meraih miimpi...

wen assallamualaikum..

Senin, 21 Juni 2010

INTELIGENSI (INTELLIGENCE)

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Intelegensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Di mana biasanya individu yang memiliki intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Namun perlu ditekankan bahwa intelegensi itu bukanlah IQ di mana kita sering salah tafsirkan. Sebenarnya intelegensi itu menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui tingkat intelegensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat intelegensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, Ia akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya
Disamping itu emosi juga mengambil peran penting dalam menentukan sikap individu yang lansung berhubungan dengan suasana hati yang muncul akibat perbedaan emosi dan dipengaruhi fakor internal dan eksternal. Sehingga timbul berbagai macam emosi seperti, gembira, marah, sedih, iri hati, dll.
Respon tubuh terhadap timbulnya emosi yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan tubuh secara fisiologis, sperti denyut jantung menjadi cepat, muka memerah, peredaran darah menjadi cepat, bulu roma berdiri dll. Dan bagaimanakah kita dapat memelihara dan menjaga emosi.
Meskipun semua orang tahu apa yang dimaksud dengan intelegensi atau kecerdasan, namun sukar sekali untuk mendefinisikan hal ini secara tepat. Banyak sekali definisi yang diajukan para sarjana, namun satu sama lain berbeda, sehingga tidak dapat memperjelas persoalan.
Banyak pakar psikologi yang memberikan definisi Intelegensi.Claparedese danStern memberikan definisi intelegensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru. K. Bluher mendefinisikan intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Sedangkan menurut David Wechsler,Intelegensi adalah kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan yang menjelaskan ciri-ciri dari intelegensi:
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rsional. Oleh karena itu, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulakan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berfikir rasional itu.
2. Intelegensi tecermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya.
Dalam psikologi, pengukuran intelegensi dilakukan dengan menggunakan alat-alat psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran intelegensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat menyataakan tinggi rendahnya intelegensi yang diukur, yaitu IQ (Intellegence Quotioent).
Secara umum kita dapat mengatakan bahwa intelegensi tidak hanya merupakan suatu kemampuan untuk memecahkan berbagai persolan dalam bentuk simbol-simbol(seperti dalam matematika), tetapi jauh lebih luas menyangkut kapasitas untuk belajar kemampuan untuk menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai persoalan, serta kemampuan untuk mencari berbagai alternatif.
Contoh perbuatan yang menyangkut intelegensi: Jika seseorang mengamati taman bunga, ini adalah persepsi. Tetapi kalau ia mengamati bunga-bunga yang sejenis atau mulai menghitung, manganalisa, membandingkan dari berbagai macam bunga yang ada dalam taman tersebut, maka perbuatanya sudah merupakan perbuatan yang berintelegensi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
c. Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.


d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang individu, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. seperti yang dikatakan Van den den Daele (Hurlock : 2 ) bahwa perkembangan adalah perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Perkembangan juga diartikan sebagai ”peruibahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”, Perkembangan dapat diartikan ” suatu proses perubahan pada diri individu atau organisme, baaik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan berkesinambungan”,(Syamsu Yusuf : 83 ). Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, naqmun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki. (Ani Cahyadi, Mubin, 2006 : 21-22). Hubungannya dengan intelektual anak bahwa inteligensi anak bahwa ineligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatui fiksi ilmiah untuk mendeskripsiskan prilaku induvidu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Diantaranya menurut C.P. Chaplin (1975) mengartikan inteligensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif (Syamsu Yusuf : 106).

B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam makalah ini adalah hakekat intelegensi, tepri-teori intelegensi, pengukuran intelegensi, multiple intelegensi, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dan bagaimana proses perkembangan intelelektual anak hubungannya inteligensinya di dalam proses pendidikan.
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Pertama: Pendahuluan, meliputi Latar Belakang Masalah, Prosedur Pemecahan Masalah dan Sistimatika Uraian. Kedua: Isi atau bagian teori meliputi pendapat ahli mengenai intelegensi. Ketiga: terdiri atas kesimpulan dan saran yang merupakan penutup dari makalah ini. Yang terakhir daftar pustaka yang menjadi rujukan dalam penulisan makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Hakekat Intelegensi
Pada umumnya orang berpikir menggunakan pikiran (intelek)-nya. Cepat tidaknya dan terpecahkan atau tidaknya suatu masalah tergantung kepada kemampuan intelejensinya. Melihat dari intelejensinya seseorang dapat dikatakan pandai atau bodoh, pandai sekali atau dungu. Intelejensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu.
Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga bersalal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan “Nous”, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”. Istilah intelegensi (latin:intelligare) berarti menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain. William Stern menyatakan bahwa intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan mempergunakan akal. Jadi semacam proses adjustment.

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: Intelegensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya.
Dari berbagai pengertian tentang intelegensi, dapat ditarik kesimpulan bahwa intelegensi adalah kemampuan dasar seseorang dalam bertindak dalam suatu lingkungan atau keadaan tertentu dengan tepat.

B. TEORI-TEORI INTELEGENSI
Dalam menggambarkan secara sepintas tentang intelegensi sebagai suatu kemampuan dasar yang bersifat umum telah berkembang berbagai teori intelegensi diantaranya adalah:
1. Teori Daya
Teori ini dapat dipandang sebagai teori yang tertua. Teori ini mengungkapkan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya misalnya seperti ingatan, fantasi, penalaran, deskriminasi dan sebagainya. Masing-masing daya pada jiwa manusia terpisah antara satu dengan yang lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih dengan materi yang sulit. Berdasarkan teori ini maka timbullah teori disiplin mental dalam bidang pendidikan.
2. Teori Dwifaktor (the two factor theory)
Teori ini dikembangkan oleh Charles Spearman, beliau mendasari teorinya pada analisis factor intelegensi. Menurutnya kecakapan intelektual terdiri dari dua macam kemampuan mental, yaitu intelegensi umum dan kemampuan spesifik yang akan memberi sumbangan pada setiap perilaku yang inteligen.
3. Teori Multifaktor (Multiple Factor Theory)
Teori multifactor ini dikembangkan oleh E.L.Thorndike. Menurutnya intelegensi itu adalah pertalian aktual maupun potensial yang khusus antara stimulus dan respons. Dia mengemukakan empat atribut intelegensi, yaitu:
- tingkatan
- rentang
- daerah
- kecepatan
4. Teori Primary Mental Ability
Teori ini dikembangkan oleh L.L Thurstone, berdasarkan analisis faktor. Menurut teori ini intelegensi tidak terdiri dari dua faktor atau multifaktor, akan tetapi terdiri dari sejumlah kecakapan-kecakapan mental yang primer. Ada beberapa faktor primer dalam intelegensi, yaitu:
- Verbal Comprehention (V)
- Number Facility (N)
- Spatial Relation (S)
- Word Fluency (W)
- Memory (M)
- Reasoning (R)
- Perceptual Speed (P)
- Induction (I)
5. Teori Struktur Intelek (structure of intellect model)
Teori strukturintelek dikembangkan oleh Guilford. Dalam teorinya ia mengklasifikasikan intelegensi menjadi tiga dimensi, yaitu operasi, isi dan produk yang masing-masing terdiri dari kecakapan intelek.
6. Teori Hierarkis (hierarchical theories)
Teori ini berusaha mengungkapkan skema organisasi faktor-faktor kecakapan intelek dan memberikan gambaran secara hierarkis hubungan antara faktor-faktor intelek mulai dari yang bersifat umum sampai ke yang spesifik.

C. PENGUKURAN INTELEGENSI
E. Seguin, (1821-1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan sebuah papan berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental. Alfred Binet dan Victor Henri, yang kemudian terkenal dengan Skala Binet Simon.
Pengukuran intelegensi dapat dilakukan secara:
- KUALITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena kualitas individu yang berbeda.
- KUANTITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena terdapat perbedaan kuantitas individu.
1. ALFRED BINET
® TES STANFORD BINET
IQ = MA/CA x 100
IQ = Intelligence Quotient
MA = Mental Age
CA = Chronological Age
Klasifikasi IQ Menurut Stanford-Binet
KLASIFIKASI IQ
Genius 140 ke atas
Sangat cerdas 130 – 139
Cerdas (superior) 120 – 129
Di atas rata-rata 110 – 119
Rata-rata 90 – 109
Di bawah rata-rata 80 – 89
Garis Batas (bodoh) 70 – 79
Moron (lemah pikir) 50 – 69
Imbisil,idiot 49 ke bawah



2. DAVID WECHSLER
® Wechsler-Bellevue Intellegence Scale (1939)
® Wechsler Intellegence Scale for Children (1949)
® Wechsler Adult Intellegence Scale (1955)

Klasifikasi IQ Menurut Wechsler

KLASIFIKASI IQ
Very Superior 130 ke atas
Superior 120 –129
Bright Normal 110 –119
Average 90 – 109
Dull Normal 80 – 89
Borderline 70 –79
Mental Deffective 69 ke bawah
Kurve Normal Dalam Intelegensi
D. KECERDASAN EMOSI
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal.
Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

E. KECERDASAN SOSIAL
Hal yang menyebabkan kecerdasan sosial dilatarbelakangi oleh proses pendidikan di keluarga maupun masyarakat. Penanaman nilai-nilai pendidikan di keluarga, acapkali hanya mengejar status dan materi. Orang tua mengajarkan pada anaknya bahwa keberhasilan seseorang itu ditentukan oleh pangkat atau kekayaaan yang dimilikinya. Masyarakat juga begitu, mendidik orang semata mengejar tahta dan harta. Proses ini tampak pada masyarakat yang lebih menghargai orang dari jabatan dan kekayaan yang digenggamnya. Kondisi ini membuat orang terobsesi untuk memperoleh kedudukan tinggi dan kekayaan yang berbuncah-buncah agar terpandang di masyarakat. Untuk mengejar ambisi tersebut orang kadang menanggalkan etika dan moral, bahwa cara yang ditempuh untuk mewujudkan impiannya itu bisa menyengsarakan orang lain.
Akibat yang ditimbulkan dari kecerdasan sosial yang tidak terasah pada individu adalah memberi kontribusi pada perilaku anarkis. Hal ini dikarenakan individu yang kecerdasan sosialnya rendah tidak akan mampu berbagi dengan orang lain dan ingin menang sendiri. Kalau dia gagal akan melakukan apa saja, asal tujuannya bisa tercapai, tak peduli tindakannya merusak lingkungan, dan tidak merasa yang dikerjakannya menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga diskripsi kepribadian seperti ini, berpotensi melakukan perilaku anarkis, ketika hasrat pribadinya tidak tercapai atau sedang menghadapi masalah dengan orang atau kelompok lain.
Betapa pentingnya peranan kecerdasan sosial untuk mencegah perilaku anarkis, maka perlu dicari solusi untuk mengembangkan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial menjadi solusi efektif meredam anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi, mempunyai seperangkat keterampilan psikologis untuk memecahkan masalah dengan santun dan damai.
Keterampilan psikologis itu berkaitan dengan kecakapan keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh seseorang. Keterampilan sosial merupakan indikator untuk melihat seseorang kecerdasan sosialnya tinggi atau rendah. Seseorang memiliki kecerdasan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap. Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau sosial). Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi, melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-orang atau peristiwa.
Kedua, punya kemampuan charity. Yaitu kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain.
Ketiga, berkembang empathy. Kemampuan individu melakukan hubungan dengan orang lain pada pada tingkat yang lebih personal.
Keempat, terampil interaction style. Individu memiliki banyak skenario saat berhubungan dengan orang lain, luwes, dan adaptif memasuki situasi berbeda-beda.
Dengan keterampilan sosial yang tertanam dalam diri dapat menjadi pijakan, apabila tujuannya mengalami hambatan atau menghadapi masalah dengan orang lain. Keterampilan tersebut juga bermanfaat, ketika keinginannya ada rintangan atau dirinya sedang punya masalah dengan orang atau kelompok lain. Dia akan mengobservasi, mengamati, dan mencari tahu berkaitan dengan problem yang sedang dihadapinya. Hasil dari pencariannya tersebut, dapat menjadi pondasi untuk menentukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah.
Setelah ditemukan strategi efektif untuk memecahkan masalah, lalu dikomunikasikan kepada orang lain dengan empati. Dari proses ini dapat terjalin hubungan interpersonal mendalam yang bisa membuka sekat-sekat perbedaan, membincangkan berbagai masalah dari hati ke hati, mencari jalan terbaik yang memberi kemaslahatan semua pihak, dan luwes menerapkan pola yang sudah ditemukan untuk menyelesaikan masalah dengan disesuaikan pada situasi. Apabila upaya ini diterapkan, tentu akan menghasilkan kedamaian dan kesantunan dalam menyelesaikan setiap persolaan.
Agar kecerdasan sosial menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah, perlu ada gerakan memahamkan, membudayakan, dan mengimplementasikan kecerdasan sosial di tengah-tengah komunitas masyarakat. Untuk mewujudkan gerakan tersebut, diperlukan sumbangsih dari berbagai elemen masyarakat.

F. KECERDASAN SPIRITUAL
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ:Spiritual Intellegence, Bloomsbury, Great Britain).
Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik.
Mengingat kunci keberhasilan seseorang adalah kualitas SQ yang mampu meningkatkan kompetensi EQ didukung oleh IQ. Dengan memiliki kualitas IQ yang tinggi, didukung oleh kualitas EQ yang tinggi pula, kita dapat menjadi seseorang yang integratif.
Kecerdasan spiritual (SQ) akan memberikan value (nilai kebenaran) kepada kecerdasan emosional baik yang bersumber dari norma-norma pergaulan, adat istiadat, budaya, kepercayaan, hukum maupun agama. Nilai kebenaran yang dipancarkan akan meningkatkan kecerdasan emosional dan kemudian akan menciptakan sesuatu (pola pikir, pola sikap dan pola tindak) yang bermakna atau bermanfaat, bukan saja hanya untuk kepentingan diri sendiri dalam kaitannya dengan proses intrapersonal, tetapi juga bagi orang lain atau lingkungannya, dalam proses interpersonal. Tanpa kecerdasan spiritual, tidak akan mungkin kita dapat membangun emosional yang bermakna positif, yang berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual menjadi sesuatu yang bermanfaat.

G. IMPLEMENTASI INTELEGENSI DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996:178) adalah: ”Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hany a menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja(Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Intelegensi merupakan kemampuan dasar seseorang dalam bertindak dalam suatu lingkungan atau keadaan tertentu dengan tepat.
Faktor yang mempengaruhi intelejensi
1. Pembawaan
2. Kematangan
3. Pembentukan
4. Minat dan pembawaan
5. Kebebasan
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan.
Dalam menggambarkan secara sepintas tentang intelegensi sebagai suatu kemampuan dasar yang bersifat umum telah berkembang berbagai teori intelegensi diantaranya adalah:
1. Teori Daya
2. Teori Dwifaktor (the two factor theory)
3. Teori Multifaktor (Multiple Factor Theory)
4. Teori Primary Mental Ability
5. Teori Struktur Intelek (structure of intellect model)
6. Teori Hierarkis (hierarchical theories)
Pengukuran intelegensi dapat dilakukan secara:
- KUALITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena kualitas individu yang berbeda.
- KUANTITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena terdapat perbedaan kuantitas individu.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Seseorang memiliki kecerdasan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap. Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau sosial). Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi, melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-orang atau peristiwa. Kedua, punya kemampuan charity. Yaitu kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain. Ketiga, berkembang empathy. Kemampuan individu melakukan hubungan dengan orang lain pada pada tingkat yang lebih personal. Keempat, terampil interaction style. Individu memiliki banyak skenario saat berhubungan dengan orang lain, luwes, dan adaptif memasuki situasi berbeda-beda.
Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik.

B. SARAN
Implementasi intelegensi dalam praktik pendidikan diperlukan peran guru/pendidik dan pengembangan intelegensi siswa baik emosi intelegensi, sosial intelegensi, spiritual intelegensi dan multiple intelegensi. Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Selain siswa, guru juga harus mengembangkan kecerdasannya, dalam pengelolaan kelas, berhubungan dengan lingkungan dan pengelolaan emosi. khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Emotional Spiritual Quotient, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001.
Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
http://kentanks.blogspirit.com/archive/2006/03/04/intelegensi-dan-iq.html
http://www.sman1-bna.sch.id/index.php?option=com content&view=article&id=65:mengapa-kecerdasan-emosional-penting&catid=40:pendidikan&Itemid=93.
http://www.uad.ac.id/in/arsip-berita/98-mengembangkan-kecerdasan-sosial.html?start=1
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2007.
Setyobroto, Sudibyo, Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta: Percetakan SOLO, 2001.
Sukardi, Dewa Ketut dan Desak P.E. Nila Kusmawati, Analisis Tes Psikologi Teori dan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Suroso, Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ (The ESQ Based The Integratif Leadership), Jakarta: Bars Media Komunikasi, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar