belajar untuk meraih miimpi...

wen assallamualaikum..

Minggu, 07 April 2013

KENAPA DOSEN.....


Selama ini, kita hanya tahu bahwa para dosen selalu dituntut untuk meningkatkan kualitasnya, baik oleh mahasiswa, masyarakat, maupun pihak birokrasi kampus. Salah satu bentuknya adalah melanjutkan sekolah hingga tingkat doktoral. Tuntutan ini tentu masuk akal. Sebab, dengan terus-menerus mengasah otak, maka diandaikan kualitas intelektualitasnya juga diharapkan akan terdongkrak. Tuntutan ini tentu patut untuk dipenuhi.
Kemendiknas juga turut serta bertanggung jawab dalam memenuhi tuntutan peningkatakan kualitas ini dengan menggelontorkan pelbagai macam program. Entah itu berupa (1) beasiswa BPPS. Program ini  khusus diberikan kepada dosen dengan syarat tercatat sebagai dosen tetap dan berpangkat minimal Asisten Ahli; (2) program  kemitraan antara perguruan tinggi pembina dan perguruan tinggi mitra. Secara sederhana, perguruan tinggi mitra adalah perguruan tinggi yang masih memiliki banyak dosen yang bergelar S-1 tetapi di kampusnya sendiri belum memunyai program S-2 atau S-3 sehingga dosen yang bersangkutan harus mencari kampus lain guna melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Nah, untuk mempercepat proses pengingkatan kualitas dan gelar dosen yang bersangkutan, perguruan tinggit mitra itu boleh bekerja sama dengan perguruan tinggi pembina supaya para dosen-dosennya bisa bersekolah di perguruan tinggi pembina sebagai stimulus untuk membuka program studi lanjutan yang sama dengan perguruan tinggi pembina. Program ini setidaknya sudah diluncurkan oleh Kemendiknas sejak 2009; (3) program beasiswa untuk calon dosen yang disebut Beasiswa Unggulan untuk Calon Dosen . Program ini, menurut saya, merupakan  program yang bisa menjembatani apabila kedua program di atas terasa sulit dilakukan. Program ini dilakukan guna memudahkan perguruan tinggi yang menginginkan kaderisasi calon dosen tetapi terbentur oleh peraturan pemerintah yang mensyaratkan dosen harus bergelar minimal S-2. Sementara itu, bisa jadi perguruan tinggi itu tidak memunyai dana untuk menyekolahkan alumninya yang berbakat ke jenjang pendidikan yang lebih supaya bisa menjadi dosen  di kampusnya. Syarat mengikuti program beasiswa ini juga tidak terlampau sulit. Setidaknya, calon penerima beasiswa ini harus memunyai nilai IPK terakhir minimal 3,00 (untuk beasiswa studi S-2) dan 3,25 (untuk beasiswa studi S-3), memunyai kontrak kerja/perjanjian bersedia mengajar dari perguruan tinggi yang ditunjuk oleh pemerintah atau boleh mengajukan perguruan tinggi yang akan menjadi tempat bekerja calon penerima beasiswa (disebut dengan istilah “Perguruan Tinggi/Lembaga Pengirim”) dengan menunjukkan bukti perjanjian ikatan kerja yang ditandatangani oleh calon penerima beasiswa dan perguruan tinggi/lembaga pengirim.
Berdasarkan uraian di atas, kita masih bisa melihat komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas, harkat, dan martabat dosen. Tetapi, di sisi lain, agaknya kemendiknas perlu membuka mata lebih lebar lagi. Sebab, komitmen kemendiknas itu sebenarnya mengalami kebocoran di tingkat pelaksanaannya. Kenapa? Sebab, perguruan tinggi yang sudah “dimanjakan” oleh program-program dari kemendiknas itu sepertinya tidak kehabisan akal untuk “mengerjai” dosen-dosennya dengan memelintir peraturan dari pemerintah yang berkaitan dengan hak-hak dosen.
Apakah bentuk “mengerjai”-nya itu?
Pertama, dosen kerap “dikerjai” oleh perguruan tinggi dengan menggunakan dalih peraturan pemerintah sehubungan dengan istilah  linier dan tidak linier. Maksudnya adalah terutama oknum pihak SDM (Sumber Daya Manusia) perguruan tinggi kerap menakut-nakuti dosen yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi apabila program studi yang hendak diambilnya berbeda dengan program studi yang sebelumnya. Mereka (oknum pihak SDM) tidak segan-segan memelintir peraturan pemerintah dengan mengatakan bahwa apabila studi lanjutnya tidak sama dengan studi sebelumnya, maka tidak lagi diijinkan mengajar dengan alasan program studi yang diambil tidak sebidang atau linier (contoh: dosen yang memiliki gelar Sarjana Sastra dengan kekhususan linguistik dan mengajar di fakultas sastra harus mengambil program magister atau doktoral di bidang linguistik  juga). Padahal, jika saja pihak SDM itu membaca  secara cermat dan hati-hati Buku Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen ke Lektor Kepala dan Guru Besar (Ditjen DIKTI, DEPDIKNAS, 2009), tidak pernah ada satu pun pasal dari Ditjen Dikti yang mengeluarkan larangan seperti itu. Justru, yang ditekankan adalah apakah studi lanjutnya itu sesuai atau tidak dengan bidang penugasan pengajaran (contoh: dosen yang memiliki gelar Sarjana Sastra dengan bidang linguistik dan mengajar di fakultas sastra akan memperoleh angka kredit yang tinggi di dalam pengurusan kepangkatan selama mengampu mata kuliah yang berkait erat dengan jenjang pendidikan terakhir yang  dimilikinya. Jadi, ketika dosen itu melanjutkan studi (S-2 atau S-3) di bidang filsafat, maka dosen itu akan memeroleh angka kredit yang tinggi jika ditugaskan untuk mengajar mata kuliah , misalnya Dasar-Dasar Filsafat, Filsafat Bahasa, Filsafat Sastra, atau Pemikiran Kontemporer, meskipun dosen tersebut berada di perguruan tinggi/lembaga yang sama sekali tidak memunyai fakultas, program studi, atau jurusan ilmu filsafat.
Kedua, dosen kerap “dikerjai” dengan perjanjian Surat Keputusan (S.K.) untuk dosen tetap atau kontrak kerja untuk dosen tidak tetap. Hal ini sehubungan terjadinya dualitas surat kontrak yang kerapkali saling berbeda antara yang dipegang oleh dosen dan yang dikirim oleh perguruan tinggi kepada kopertis di wilayah masing-masing.
Seperti kita maklum, kemendiknas memang mensyaratkan batas minimus jumlah dosen tetap yang harus dimiliki oleh masing-masing program studi/jurusan. Untuk memenuhi peraturan tersebut, tentu perguruan tinggi harus berupaya keras memenuhi kewajibannya. Sayangnya, cara yang ditempuh oleh perguruan tinggi dalam rangka memenuhi kewajibannya kepada kemendiknas itu ditempuh dengan cara-cara yang tidak etis. Sudah ada beberapa suara dari para dosen muda yang merasa “dikerjai” oleh pihak kampus (barangkali dalam hal ini adalah oknum ppihak SDM) karena mereka hanya diberi surat berupa kontrak kerja (yang berarti berstatus dosen kontrak), tetapi setelah dicek di laman Ditjen dikti ternyata tercatat sebagai dosen tetap!
Apakah Dampak yang dirasakan para dosen akibat ulah kampus nakal seperti itu?
Dampak yang bisa dirasakan adalah terciptanya suasana tidak kondusif di kalangan dosen sendiri. Dalam hal melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya, dosen sudah dikerangkeng sedemikian rupa dalam hal pilihan bidang keilmuan yang diminatinya. Apalagi, bidang studi yang akan dipilihnya tersebut seolah-olah bukannya akan meningkatkan harkat dan martabatnya , melainkan akan mengancam profesinya sebagai dosen jika divonis tidak sebidang oleh pihak kampus.
Dampak lainnya adalah tentang status dosen tetap atau tidak tetap. Ada juga kasus seorang dosen muda yang dianggap tidak bisa menjadi dosen tetap dengan alasan masih S-1 sehingga pihak kampus (dalam hal ini diutarakan oleh oknum pihak SDM-nya) hanya bisa memberikannya status sebagai dosen kontrak. Alasan ini tentu menjadi mentah ketika mendapati kenyataan bahwa namanya bertengger dengan gagah di laman Ditjen dikti sebagai dosen tetap! Perasaan macam apa yang harus ditanggung oleh dosen muda yang ketika baru pertama kali mengabdi untuk masyarakat justru ditipu seraya direndahkan derajatnya oleh pihak SDM di tempat dirinya mengabdi. Padahal, segala peraturan yang dinyatakan oleh pemerintah via PP Nomor 37 tahun 2009 tentang dosen (Pasal Penjelasan Umum)  jelas-jelas bertujuan untuk:
a. meningkatkan martabat dosen;
b. menjamin hak dan kewajiban dosen;
c. meningkatkan kompetensi dosen;
d. memajukan profesi serta karier dosen;
e. meningkatkan mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;
f. meningkatkan mutu pendidikan nasional;
g. mengurangi kesenjangan ketersediaan dosen antar-perguruan tinggi dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
h. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar-perguruan tinggi; dan
i. meningkatkan pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu.
Segala tujuan pemerintah yang bermaksud memuliakan dosen itu sayangnya dipatahkan oleh oknum pihak SDM kampus dengan melakukan tindakan layaknya algojo yang memangkas dan melcehkan profesi dosen yang justru saat ini sedang berupaya ditingkatkan statusnya menjadi profesi yang bersifat profesional dengan dikeluarkannya aturan tentang sertifikasi dosen.
Penutup
Oleh karena itu, ada baiknya jika kemendiknas melakukan penyelidikan secara diam-diam untuk mendeteksi kasus-kasus ini mengingat pelbagai kemudahan sudah diterima oleh pihak perguruan tinggi guna menyukseskan program peningkatan kualitas dan kesejahteraan dosen. Sebab, kemandekan peningkatan kualitas dosen ternyata justru terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang bersangkutan. Tidak melulu disebabkan oleh pemerintah.,.......dari blognya RIKOBIDIK...tremss

Kok Mau ya Jadi Dosen......(Blog YUDI WIBISONO).


Banyak  pertanyaan tentang bagaimana cara menyiapkan diri untuk menjadi dosen.  Ini pendapat saya:
  • Sebaiknya saat kuliah mencoba menjadi asisten praktikum atau guru les.  Tidak semua orang bisa menikmati  mengajar.
  • Setelah lulus lebih baik mencoba pekerjaan lain dulu.  Jangan sampai menyesal setelah menjadi dosen karena bayarannya kurang memadai (memadai atau tidak relatif untuk setiap orang).   Saat baru lulus mungkin bayarannya tidak terlalu berbeda dengan profesi lain (khususnya bidang IT), tapi semakin lama gapnya akan semakin besar. Hitungan kasar saya, setelah 10 tahun selisih gaji antara profesi dosen vs non dosen (bidang IT)  bisa mencapai 5-10 kali lipat, alias 500% –  1000%.
  • Kalau  niatnya ingin kaya, jangan jadi dosen,  jadi pengusaha yang paling tepat.   Terus terang saya merasa terganggu dengan beberapa dosen  yang mengorbankan kuliah dan mahasiswa untuk mencari uang di luar kampus.   Boleh saja mencari tambahan di luar kampus, tapi prioritas utama haruslah tetap mengajar dan penelitian di dalam kampus.
  • Kalau sudah yakin memilih  profesi dosen,  mulailah kuliah   S2. Umumnya syarat dosen saat ini adalah minimal S2 dan bahkan untuk dosen ITB mewajibkan sedang S3.  Lebih bagus lagi jika  mengambil S2/S3 di luar negeri  karena pengalamannya akan lebih banyak
Mengapa mau jadi dosen?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh rekan dosen setelah dia tahu latar belakang pendidikan saya. “Ngapain kamu jadi dosen? kalau kamu kerja di industri pasti lebih makmur”, begitu ucapnya.  Memang benar juga sih,   kalau dari ukuran uang,  penghasilan  teman-teman seangkatan saya sepertinya sudah mencapai puluhan juta per bulan.
Menyesal dong? Jelas tidak :-)   Menjadi dosen bukan pilihan satu-satunya bagi saya. Sebelum saya memilih profesi dosen, beberapa hari sebelumnya saya  sudah mendapat beberapa tawaran dari teman untuk bekerja di perusahaan IT, dengan gaji yang jauh lebih tinggi tentunya.
Pekerjaan menurut saya mirip seperti pasangan hidup. Setiap orang memiliki selera yang berbeda, dan harus ada trade off.  Agak lama juga ternyata untuk menemukan “selera” saya.  Saya termasuk orang yang sering gonta-ganti pekerjaan. Proyek pengembangan software pertama kali saya dapatkan saat SMA, berlanjut menjadi freelancer saat kuliah. Sempat jualan software, baik langsung maupun melalui internet.  Kemudian membuat perusahaan sendiri setelah lulus. Karena perusahaan tidak berkembang, beralih jadi karyawan.  Akhirnya menjadi dosen di tahun 2004 sampai dengan sekarang. Dari semua itu, menjadi dosen menurut saya merupakan  pekerjaan yang paling menyenangkan.
Kenapa bisa seperti itu? Setelah saya pikir-pikir, mungkin karena sifat saya yang cepat bosan. Dengan menjadi dosen, sulit untuk menjadi bosan. Mempersiapkan materi kuliah membuat saya harus terus belajar. Menghadapi mahasiswa yang selalu baru setiap semester memberikan masukan yang segar.  Melakukan penelitian memberikan kebebasan untuk melakukan apa yang kita inginkan (tanpa perlu khawatir hasilnya tidak laku).  Diluar kedua hal itu, profesi menjadi freelancer masih tetap dapat dijalankan :) Malah sekarang saya melibatkan mahasiswa sebagai programmer (saat ini ada 7 orang yang sedang bekerja) sehingga mirip mengelola perusahaan juga.
Kelebihan yang lain adalah fleksibilitas waktu dan tempat kerja.  Urusan kuliah tatap muka memang tidak dapat ditinggalkan (harus di dalam kelas dalam waktu tertentu). Tapi diluar itu, saya dapat bekerja dimana saja.  Penggunaan e-learning membuat saya dan mahasiswa dapat berkomunikasi tanpa perlu dibatasi ruang kelas. Kadang-kadang saya chatting dengan mahasiswa mengenai kuliah sampai jam 1 pagi (tapi kalau ada yang berani menelpon jam 12 malam, ya saya getok).  Kenikmatan seperti bisa bermain dengan anak di pagi hari, mengantar dan menjemput dia dari sekolah dan les, dan… tidur siang merupakan hal yang saya yakin jarang dimiliki orang yang bekerja di perusahaan lain :)
Kelebihan yang lain (lagi) adalah dari sisi politik kantor. Di universitas, walaupun ada, intrik antar dosen relatif sedikit dan lunak.  Dengan jabatan fungsional, dosen suatu saat bisa menjadi ketua jurusan, bahkan rektor. Tapi di saat yang lain dapat menjadi dosen biasa lagi. Ini berbeda dengan di tempat lain yang sekali diatas akan terus naik jabatannya.
Manfaat terakhir tapi mungkin paling penting: salah satu amalan yang tetap mengalir walaupun  kita sudah wafat adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang saya berikan ke mahasiswa membuat mereka bisa bekerja dan bermanfaat bagi masyarakat dan saya yakin itu masuk kategori ilmu yang bermanfaat :)  Salah satu hal yang paling menyenangkan adalah saat ngobrol dengan alumni dan mereka menceritakan bahwa  kuliah saya bermanfaat saat mereka kerja setelah lulus.
Ada yang berminat? :)   Ilkom UPI tahun ini membuka lowongan untuk dosen. Sayangya  mungkin pendaftarannya sudah ditutup (27 sep 08). Tapi tahun-tahun mendatang saya yakin akan terus menerima karena kami masih kekurangan dosen.

Tentang dosen


SALINAN 
PERATURAN 
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL 
REPUBLIK INDONESIA 
 NOMOR 47 TAHUN 2009 
TENTANG 
SERTIFIKASI PENDIDIK UNTUK DOSEN 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, 
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan Pasal 
5 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang 
Dosen, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 
tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen; 
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan 
Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 4586); 
2. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen 
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 76, 
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5007); 
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, 
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja 
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah 
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2008; 
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang 
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah 
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden 
Nomor 77/P Tahun 2007; - 2 -
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG 
SERTIFIKASI PENDIDIK UNTUK DOSEN. 
Pasal 1 
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 
1. Sertifikasi dosen adalah pemberian sertifikat pendidik untuk dosen. 
2. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional. 
3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen 
Pendidikan Nasional. 
Pasal 2 
Sertifikasi dosen diikuti oleh dosen yang telah memiliki: 
a. kualifikasi akademik paling rendah program magister (S2) atau setara; 
b. pengalaman kerja paling sedikit 2 (dua) tahun secara berturut-turut sebagai dosen 
tetap pada perguruan tinggi tempat yang bersangkutan bertugas saat diusulkan; dan 
c. jabatan akademik paling rendah Asisten Ahli. 
Pasal 3 
(1) Sertifikasi dosen dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat 
pendidik. 
(2) Uji kompentesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk 
penilaian portofolio. 
(3) Penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk 
menentukan pengakuan atas kemampuan profesional dosen, dalam bentuk 
penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendiskripsikan: 
a. kualifikasi akademik dan unjuk kerja Tri Dharma Perguruan Tinggi; 
b. penilaian persepsional dari atasan, sejawat, mahasiswa dan diri sendiri tentang 
kepemilikan kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian; dan 
c. pernyataan diri tentang kontribusi dosen yang bersangkutan dalam 
pelaksanaan dan pengembangan perguruan tinggi. 
Pasal 4 
(1) Dosen yang lulus penilaian portofolio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 
(2) mendapat sertifikat pendidik; 
(2) Dosen yang tidak lulus penilaian portofolio dapat melakukan kegiatan-kegiatan 
pengembangan profesionalisme paling sedikit 1 (satu) tahun guna memenuhi 
kelengkapan dokumen portofolionya; 
(3) Dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengikuti sertifikasi kembali 
dalam program sertifikasi periode berikutnya. - 3 -
Pasal 5 
(1) Menteri menetapkan jumlah dan kuota peserta sertifikasi dosen setiap tahun; 
(2) Direktur Jenderal sesuai dengan kewenangannya menentukan peserta sertifikasi 
dosen berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Menteri; 
(3) Penentuan peserta sertifikasi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
berpedoman pada kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. 
Pasal 6 
Sertifikasi dosen diselenggarakan oleh perguran tinggi terakreditasi yang ditetapkan 
oleh Menteri. 
Pasal 7 
(1) Perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen wajib memberi Nomor Pokok 
Peserta Sertifikasi; 
(2) Perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen wajib melaporkan kepada 
Direktur Jenderal mengenai jumlah, perubahan jumlah, dan kelulusan peserta 
sertifikasi dosen; 
(3) Direktur Jenderal menetapkan nomor registrasi dosen bersertifikat berdasarkan 
laporan kelulusan dari perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen. 
Pasal 8 
(1) Dosen yang telah menduduki jabatan akademik guru besar atau profesor 
dinyatakan telah memiliki sertifikat pendidik; 
(2) Sertifikat pendidik bagi guru besar atau profesor sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal. 
Pasal 9 
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 
37 Tahun 2009 tentang Dosen, bagi dosen yang belum memenuhi kualifikasi akademik 
magister atau yang setara dapat mengikuti sertifikasi dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun dan mempunyai pengalaman kerja 
paling sedikit 30 (tiga puluh) tahun sebagai dosen; atau 
b. mempunyai jabatan akademik lektor kepala dengan golongan IV/c; atau 
c. memenuhi angka kredit kumulatif jabatan fungsional dosen setara dengan lektor 
kepala dengan golongan IV/c. - 4 -
Pasal 10 
Dosen yang pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 ditetapkan telah 
berstatus dosen tetap dalam jabatan yang bukan guru besar atau profesor, dalam 
jangka waktu 6 (enam) tahun harus sudah mengikuti sertifikasi. 
Pasal 11 
Sertifikat pendidik untuk dosen berlaku selama yang bersangkutan melaksanakan tugas 
sebagai dosen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 12 
Dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak memperoleh tunjangan profesi 
dosen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 13 
Pelaksanaan sertifikasi dosen dan kriteria serta tugas asesor mengacu pada pedoman 
sertifikasi dosen yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. 
Pasal 14 
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen sebagaimana telah diubah dengan 
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas 
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen 
dinyatakan tidak berlaku. 
 Pasal 15 
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 
Ditetapkan di Jakarta 
 pada tanggal 11 Agustus 2009 
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL, 
TTD 
BAMBANG SUDIBYO 
Salinan sesuai dengan aslinya 
Biro Hukum dan Organisasi 
Departemen Pendidikan Nasional, 
Kepala Biro Hukum dan Organisasi, 
Dr.Andi Pangerang Moenta,S.H., M.H., DFM 
NIP196108281987031003

Dosen indonesia diombang ambing peraturan


Dosen di Indonesia diuji lagi. Pemerintah RI dalam hal ini adalah Kementerian PAN dan RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) berencana merilis peraturan baru tentang Jabatan Akademik Dosen. Aturan ini menandaskan, dosen harus bergelar doktor (S-3) kalau ingin naik jabatan menjadi Lektor Kepala. Langkah pun diambil dengan cara melarang pengajuan jabatan ke Lektor Kepala selama periode Januari hingga Maret 2013. Peraturan sebelumnya mensyaratkan jenjang pendidikan dosen minimal S-2 (magister) dengan sejumlah syarat lain seperti angka kum yang memenuhi jumlah dan distribusinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Blunder terhadap Pendidikan Tinggi
Ada sejumlah kejadian yang akan muncul apabila rancangan tersebut disahkan dan diberlakukan pada tahun 2013 ini. Dengan asumsi jumlah dosen di Indonesia 165.350 orang, yang bergelar doktor tak lebih dari 10 persen. Artinya, 90 persen lainnya masih bergelar S-1 dan S-2. Yang bergelar S-2 ini, kira-kira 20% ada yang sudah berumur di atas 45 tahun, bahkan 50 tahun. Namun tenaga dan perannya sebagai dosen dibutuhkan oleh perguruan tinggi, khususnya di PTS, lebih khusus lagi adalah PTS yang relatif kecil di daerah-daerah. Kalau dosen ini lantas dilarang mengajukan kenaikan jabatan menjadi Lektor Kepala maka prodi tempatnya mengabdi akan tutup suatu hari nanti karena tidak mampu lagi memenuhi syarat akreditasi. Ujungnya, boleh jadi PT-nya juga gulung tikar. Yang tersisa adalah PTN di seluruh Indonesia dan segelintir PTS di Jawa. 

Dampak selanjutnya, kesempatan rakyat Indonesia yang dijamin UUD 1945 untuk menjadi cerdas dan terdidik apik, minimal S-1, berkurang bahkan pupus, baik yang di kota-kota terutama yang kelas ekonomi menengah ke bawah, apalagi yang di daerah-daerah. Jumlah sarjana berkurang karena ada yang meninggal dan pada saat yang sama, produksinya pun berkurang karena prodi-prodinya tutup lantaran tidak terakreditasi. Dampak ini akan mulai terasa lima tahun dari sekarang, yaitu tahun 2018. Akankah pemerintah berani mengambil tanggung jawab besar ini atas petaka yang bakal terjadi lima tahun mendatang? Memang, tak mudah bagi dosen yang menjabat di kementerian dan di Ditjen Dikti untuk "memahami" dan "menyelami suasana hati" kondisi PTS karena mereka selama-lamanya mengajar di PTN. Dengan tidur lelap pun calon mahasiswa akan berduyun-duyun datang. Begitu juga projek penelitian dan projek dari perusahaan swasta dan pemerintah daerah (APBD) terus menghampiri. 

Oleh karena itu, di tengah gembar-gembor kesetaraan hak dan kewajiban PTN dan PTS, dapat dipastikan, perguruan tinggi yang “mungkin” bisa mempertahankan eksistensinya adalah PTN. Dengan kekuatan dana yang mapan dan sejak dulu (zaman Orde Baru) banyak dosen yang bergelar S-3 karena banyak menerima beasiswa yang digelontorkan ke PTN, niscaya PTN bisa survive. Namun faktanya, daya tampung seluruh PTN jauh di bawah daya tampung seluruh PTS. PTS-lah yang banyak menghasilkan sarjana untuk menambah kekuatan pembangunan bangsa di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah. Tak bisa dimungkiri, sarjana lulusan PT di daerah ini banyak yang berkiprah di daerahnya, mengelola dana APBN, APBD secara langsung maupun tak langsung untuk pembangunan di daerahnya. Ada yang bekerja sebagai PNS, banyak juga yang bekerja di swasta (bank, mall, pabrik, konsultan, kontraktor), dan wirausaha. 

Sudah dipahami oleh banyak kalangan, dosen adalah profesi khas, karena ia mendidik anak bangsa menjadi sarjana, magister dan doktor. Mayoritas anak bangsa ini masih bergelar S-1 dan sejak satu dekade terakhir ini mulai banyak yang bergelar S-2, baik berprofesi sebagai dosen maupun non-dosen. Tetapi sayang, di prodi-prodi tertentu di suatu PTS misalnya, jumlah dosen yang bergelar S-2 nyaris nol. Rekrutmen dosen bergelar S-2 untuk prodi tertentu tidaklah mudah. Beragam cara termasuk iklan di koran sudah ditempuh tetapi yang berminat menjadi dosen nyaris tidak ada, apalagi kalau diembel-embeli dengan “bergelar magister” atau “berpendidikan S-2 di bidang yang sesuai dengan prodinya”. Kalau yang direkrut bergelar S-1, mereka pun kesulitan memperoleh dana untuk kuliah di S-2 dan pada saat yang sama tidak bisa mengajukan diri untuk memperoleh jabatan akademik. 

Lantas, kalau dosennya terkendala, maka pengembangan prodi pun tertatih-tatih. Potensi mahasiswa dan lulusan prodi berkurang, bahkan berakhir pada status tidak diakreditasi. Makin banyak prodi di PTS yang mengalami kondisi ini, makin banyak juga rakyat Indonesia yang tidak berpeluang menjadi sarjana. Lantas, rasio sarjana terhadap jumlah penduduk Indonesia menjadi jauh di bawah negara-negara "rendah" lainnya. Ironisnya, meskipun ada "pelarangan", pemerintah seperti tutup-mata atas pelaksanaan kelas jauh yang justru banyak dilakoni dan dibidani oleh dosen di PTN. Dengan kata lain, pemerintah membuka jalan "pembunuhan" senyap untuk PTS dan seolah-olah menjadi gagah sebagai the silent killer PTS. 

Opsi Solusi, Jalan Tengah
Dalam kesempatan diskusi dengan rekan-rekan dosen di kampus lain, muncul sejumlah opsi solusi dengan tetap mengapresiasi maksud pemerintah lewat rancangan peraturan menteri tersebut. Peraturan tentu selayaknya disosialisasikan dulu sebelum diberlakukan efektif. Ada masa tenggang seperti banyak peraturan lainnya, bahkan ada yang baru berlaku setelah satu dekade seperti peraturan kewajiban berhelm bagi pengendara sepeda motor. Tentu peraturan yang dimaksud ini tidak perlu selama itu. Tempo tiga s.d empat tahun sejak tahun 2013 adalah rentang waktu yang cukup bagi dosen untuk bersiap-siap menerima dan melaksanakan peraturan tersebut. Khususnya adalah dosen yang sudah lebih dari lima, bahkan sepuluh tahun belum bisa naik menjadi Lektor Kepala akibat berbagai hal seperti perubahan format ajuan jabatan akademik dari tahun ke tahun dan lama waktu tunggu ketika berkas harus diperbaiki lagi, ditambah lagi dengan syarat lain yang akhirnya membuat frustrasi dosen. Belum lagi masalah rotasi dan mutasi aparatur di Kopertis dan "kesigapan" layanan aparatur bagian jabatan akademik di Kopertis.

Ditjen Dikti tentu punya data eksak tentang kondisi itu dan bisa memperkirakan dampak buruknya yang bakal terjadi. "Ledakan" kemandegan jabatan di Lektor akan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Dosen tidak bisa berperan lebih luas dan lebih banyak untuk mengembangkan ilmu dan teknologinya kepada mahasiswa sehingga ilmu dan teknologi yang dimiliki mahasiswa pun makin dangkal. Sebab, dosen-dosen ini tidak bisa bersaing untuk memenangi dana penelitian, syahdan dalam lingkup di daerahnya. Ketimpangan kualitas dan strata jabatan akademik menjadi makin renggang antara PTN dan PTS, antara kota besar dan kota kecil, antara daerah Indonesia bagian barat dan timur. Kecuali, kalau tujuan pemerintah adalah pengingkaran atas amanat konstitusi negara kita dan mereduksi jumlah PTS sekaligus mengurangi jumlah lulusan perguruan tinggi agar negara ini langsung "blas di kelas underdog". 

Tentu ada lagi potensi buruk lainnya yang dapat terjadi pada masa yang akan datang kalau rancangan peraturan menteri tersebut disahkan pada tahun ini atau tiga-empat tahun mendatang. Keputusan yang tidak melihat keseluruhan kondisi pendidikan tinggi dan kondisi dosen dari Sabang sampai Merauke akan menjadi blunder pendidikan tinggi kita. Sejarah pun akhirnya mencatat, blunder itu terjadi karena arogansi pelaksana dan pengemban amanat di pemerintahan, baik di Kementerian PAN dan RB maupun di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kutukan” dan sumpah serapah dari dosen akan deras meluncur untuk pembuat keputusan ini.

Demikianlah, mudah-mudahan dapat dijadikan masukan bagi pembuat peraturan tentang nasib dan masa depan pendidikan tinggi kita yang muaranya adalah nasib dan masa depan bangsa Indonesia. *saya sadur dari tulisan...GEDE H CAHYANA.