belajar untuk meraih miimpi...

wen assallamualaikum..

Minggu, 18 Desember 2011

Aspek Manusia Dalam Penelitian Kualitatif





Aspek Manusia Dalam Penelitian Kualitatif


Oleh SELLY RIWANTI

Abstrak

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen pokok. Keandalan dan kesahihan datanya akan banyak ditentukan oleh hubungan antara peneliti dengan sasaran penelitinya. Penelitian bukan saja dituntut menguasai alat-alat konseptual dan teoretik yang relevan dengan gejala yang ditelitinya, melainkan perlu pula mengetahui keragaman para calon informannya menurut kedudukan mereka masing-masing dalam struktur social dan struktur interaksi yang ada dalam kehidupan yang nyata. Kesahihan datanya juga perlu di jaga dengan penggabungan berbagai sumber informasi serta metode pengumpulan data.

Pendahuluan

Penelitian adalah kegiatan untuk menambah atau memperbaiki pengetahuan mengenai kenyataan. Kenyataan selalu terlalu rumit untuk dapat ditangkap dan dipahami melalui pengalaman inderawi manusia biasa. Karena itu konsep dan teori diperlukan untuk membantu setiap peneliti. Konsep menyederhanakan kenyataan yang ada dengan mengklasifikasinya ke dalam satuan-satuan gejala yang diberi makna tertentu melalui definisi-definisi; sedangkan teori merupakan pernyataan umum mengenai hubungan antar gejala yang diteliti. Baik konsep maupun teori yang merupakan model-model pengetahuan penelitian tentang kenyataan, selalu berarti penyederhanaan atas kenyataan, padahal sesungguhnya kenyataan akan selalu berkembeng. Oleh sebab itu, alih-alih terpaku pada pendefinisian yang sudah ada mengenai konsep-konsep yang digunakan, peneliti dituntut bersikap kritis terhadapnya. Pendekatan kualitatif merupakan suatu cara untuk menghasilkan konsep serta teori yang lebih sesuai dengan kenyataan yang dikaji, dengan mengupayakan menekan sekecil mungkin kesenjangan antara model yang digunakan oleh peneliti dan model yang digubnakan oleh pihak yang diteliti untuk menjelaskan kenyataan tertentu (Stack 1974:XV; Hammersley dan Atkinson 1983:195-6; Silverman 1985:24; Cresswell 1994:6).
Setiap penelitian ilmiah yang ada baik bertujuan menghasilkan pengetahuan yang obyektif, artinya yang kebenarannya dibatasi oleh kesepakatan serta bakuan-bakuan ilmu pengetahuan di pihak yang satu, dan di pihak lain oleh kenyataan empirik yang dikaji. Maka dua kriteria yang penting bagi obyektivitas suatu penelitian adalah (1)keandalan (reliability) yang menyangkut langkah-langkah pembentukan tersebut, dan (2) kesahihan (validity) yang berkaitan dengan isi pengetahuan tersebut (Kirk dan Miller 1986). Dalam pendekatan kualitatif, metode penelitian yang pokok adalah penelitian lapangan dengan siat pengamatan terlibat.
Tulisan ini membahas pengamatan terlibat sebagi siasat atau strategi untuk menjamin keandalan dan kesahihan data. Pembahasan meliputi kemampuan yang diperlukan oleh peneliti, yang mencakup (1) pengetahuan konseptual dan teoretik yang relevan denga masalah penelitiannya, (2) kemampuan untuk membina hubungan dengan warga masyarakat yang ditelitinya, dan (3) kemampuan menggunakan triangulasi untuk menjaga kesahihan data.
Pengamatan Terlibat
Pengamatan sebagai siasat utama untuk menjaga mutu data dalam penelitian kualitatif, memungkinkan peneliti menggunakan berbagai sumber data. Penelitian turut terlibat dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat yang ditelitinya dalam kurun waktu tertentu, mengamati berbagai peristiwa yang terjadi, menyimak pembicaraan orang, mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung ke sumber informasi. Menurut H.Russell Bernard (1988), siasat ini memaksimalkan peluang peneliti untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan yang shih mengenai gejala yang dipelajarinya.
1. Keterlibatan peneliti dalam kehidupan sehari-hari warga dalam masyarakat yang diteliti nya membuat ia lambat laun diterima sebagai bagian yang wajar dalam kehidupan mereka, sehingga mereka pun akan bertibngkah laku sebagaimana lazimnya seperti sebelum kehadiran peneliti di sana. Ini mengurangi masalah reaktivitas, yakni masalah yang muncul karena ada kecenderungan orang bertingkah laku lain ketika mereka menyadari sedang diamati oleh orang aing.
2. Keterlibatan peneli memungkinkannya merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal bagi warga yang diteliti, dalam bahasa atau ungkapan-ungkapan setempat.
3. Pengamatan terlibat memberikan pemahaman intuitif kepada peneliti mengenai makna dari hal-hal yang terdapat dalam masyarakat yang ditelitinya.
4. Banyak masalah penelitian yang hanya dapat dijelaskan secara memadai melalui pengamatan terlibat (lihat contoh dari penelitian Stack di bawah nanti).

Peneliti menjadi alat pengumpul data dan alat analisa melalui pengalaman-pengalamannya sendiri. Hal ini berarti bahwa sampai tingkat tertentu, siasat ini harus dipelajari dan dikembangkan selama ia melakukan penelitian di lapangan. Namun ia dapat mempersiapkan diri untuk itu.

Menurut Hammersley dan Atkinson (1983:11-17). Sesungguhnya senua penelitian social dilandasi oleh pengamatan terlibat. Apa pun metode yang digunakannya, peneliti selalu terlibat atau menjadi bagian dari kehidupan social yang dikajinya, dan penelitiannya merupakan cerminan dari keterlibatan tersebut. Ini artinya tidak ada perbedaan yang mendasar antara kegiatan penelitian ilmiah dengan kegiatan awam sehari-hari dalam menjelaskan kenyataan. Hal yang membedakan keduannya adalah bahwa ilmuwan mampu menarik jarak dan mengamati kehidupan social “dari luar”. Kemampuan ini disebut refleksivitas adalah bahwa landasan epistemology penelitian harus berkaitan dengan pengetahuan awam, atau seperti telah disebutkan di atas, mengurangi kesenjangan antara model pengetahuan yang dipakainya dengan model pengetahuan para informannya. Hal ini menuntut peneliti untuk mengembangkan konsep serta teori yang substantif tentang kenyataan yang di kaji. Kedua, dalam setiap penelitian social selalu ada pengaruh dari peneliti terhadap kegiatan dan hasil penelitiannya. Hal ini kemudian mensyaratkan peneliti menguasai pengetahuan mengenai berbagai kategori informan dalam struktur sosial yang ada, berikut cara-cara menghadapi mereka dalam rangka menjaga mutu datanya.

Konsep dan Teori Substantif

Konsep serta teori yang menjadi titik tolak penelitian kualitatif merupakan hasil kajian peneliti sebelum ia pergi ke lapangan. Ini menjadi model pengetahuan peneliti. Pewrsoalan dalam pendekatan kualitatif adlah bagaimana mendekatkan model pengetahuan peneliti ini ke model pengetahuan yang dimiliki warga masyarakat yang diteliti untuk menjelaskan gejala yang diamati ?

Kasus . Konsep Keluarga dan Rumah Tangga pada Komuniti Hitam Miskin (Carol B.Stack, 1974)
Sebelum berangkat meneliti sebuah komuniti orang miskin di sebuah kota kecil di Amerika Serikat, Stack mengumpulkan berbagai definisi tentang konsep keluarga dan rumah tangga dari khasanah kepustakaan yang ada. Beberapa ahli antropologi seperti Murdock (1949) mendefinisikan keluarga sebagai satuan kekerabatan terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak, dan menjalankan fungsi seksual, ekonomi, reproduksi, serta pendidikan. Stack menemukan bahwa dalam komuniti yang ditelitinya, yang dinamakan keluarga belum tentu terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga pada komuniti ini lebih merupakan sebuah jaringan keluarga luas yang berpusat pada seorang individu (kindred). Jaringan keluarga luas ini juga berfungsi sebagai sebuah rumah tangga. Anggotanya juga dapat mencakup orang-orang yang sebenarnya tidak saling berkerabat. Keanggotaan seseorang dalam rumah tangga demikian lebih ditentukan oleh kesediaannya untuk melibatkan diri dalam hubungan pertukaran barang dan jasa secara timbal balik dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan para anggota jaringan demikian, misalnya makan, juga dapat berpindah-pindah dari rumah seorang anggota ke rumah anggota lainnya, bahkan juga dalam satu hari. Dengan demikian, pertimbangan untuk menghitung seseorang sebagai anggota keluarga dalam komuniti miskin ini bukan pertam-tama berdasarkan hubungan kerabat konsanguinal ataupun afinal, melainkan berdasarkan keterlibatan nyatanya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam kondisi yang serba terbatas.

Kasus di atyas memperlihatkan pendefinisian konsep keluarga yang disesuaikan dengan substansi yang nyata ada, sehingga disebut pula sebagai konsep yang substantif. Gejala bentuk keluarga yang demikian tentu perlu dijelaskan, sesuai dengan tujuan khusus kegiatan ilmiah untuk memberikan penjelasan secara sistematik dan beralasan mengenai mengapa dan/atau beagaimana suatu gejala terwujud seperti adanya (Nagel 1967:1-26). Penelitian Stack selanjutnya mengungkapkan bahwa gejala keluarga demikian dalam komuniti orang hitam miskin yang ditelitinya merupakan siasat yang rasional dan adaptif dalam menghadapi kemiskinan (1974:29,125).

Stack merujuk pada konsep keluarga matrifokal yang oleh beberapa peneliti terdahulu dikatakan merupakan cirri khas pada keluarga miskin. Oscar Lewis yang termasyhur sebagai pelopor penelitian antropologi tentang kemiskinan, pernah menjelaskan bahwa gejala ini disebabkan keengganan laki-laki dari golongan miskin untuk menikahi wanita yang melahirkan anak-anak mereka, karena keterbatasan kemampuan ekonomi untuk menghidupi keluarga bagi kebanyakan laki-laki miskin yang kerap menganggur atau bekerja tidak tetap. Penelitian Stack menemukan bahwa keberlanjutan gejala ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan kesejahteraan social di Amerika Serikat. Di negara itu ada tunjangan social bagi keluarga perempuan miskin yang menanggung anay yang masih perlu dibiayainya. Jika perempuan ini menikah, tunjangan itu akan dihentikan, apalagi jika ternyata laki-laki yang mengawininya memiliki pekerjaan. Kebijaksanaan itu mengabaikan kenyataan tentang sifat pekerjaan para pria dari golongan miskin, yang karena keterbatasan keahliannya, jarang yang memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang memadai. Itu sebabnya kebanyakan perempuan miskin enggan untuk menikah, karena menikah berarti kehilangan hak atas tunjangan anak; dan pada gilirannya hal ini melestarikan bentuk-bentuk keluarga matrifokal pada golongan miskin di Amerika Serikat. Penelusuran Stack itu merupakan contoh mengenai implikasi lain dari konserp yang ada, dalam hal ini kebijaksanaan kesejahteraan social di negara Amerika Serikat. Sifat terikat pada konteks ini sekaligus membatasi keberlakuan teorinya tentang keluarga matrifokal pada orang miskin, hanya untuk kasus Amerika Serikat.

Penguasaan Bahasa Setempat

Kemampuan ini merupakan salah satu prasyarat bagi penelitian lapangan dengan pengamatan terlibat. Dengan menguasai bahasa setempat, akses keinformasi terbuka lebar bagi peneliti. Adakalanya peneliti tidak menguasai sendiri bahasa penduduk yang ditelitinya, dan ia terpaksa menggunakan jasa orang lain sebagai sarana komunikasinya dengan penduduk setempat. Namun cara ini terlaluh lemah untuk menjami kesahihan data yang diperolehnya, karena selalu ada kemungkinan salah tafsir dari juru bahasa, atau dalam proses alih bahasa yang berlangsung cepat, akan banyak nuansa dari pernyataan-pernyataan informan yang hilang, antara lain karena tidak ditemukan padanannya dalam bahasa si peneliti. Oleh sebab itu peneliti harus meluangkan waktu sebelum dan selama peneliti untuk menguasai bahasa setempat, setidaknya secara pasif,

Kasus 234789. Belajar Dialek Setempat dalam Penelitian di Komuniti Asing (Selly Riawanti, 1985).

Bahasa Belanda sudah saya pelajari setidaknya selama dua tahun, baik di Indonesia maupun di Belanda sendiri. Yang saya pelajari tentu saja bahasa Belanda yang baku (ABN, Algemene Beschaafd Nederlands). Namun ketika harus meneliti sebuah komuniti petani di propinsi Drente, saya mengalami frustasi karena tidak dapat menangkap pembicaraan penduduk setempat, apalagi kalau harus terjun di tengah-tengah sebuah percakapan. Dialek Drente ternyata demikian berbeda dari ABN. Beruntung nyonya rumah saya di sana adalah seorang mantan guru yang dapat mengajarkan kepada saya beberapa prinsip fonetik dalam dialek Drente. Betapa pun, mempelajari suatu dialek dalam waktu satu dua minggu tak membuat saya menjadi ahli. Terpaksalah tknik wawancara yang semula direncanakan merupakan wawancara mendalam segera diganti dengan wawancara berstruktur dengan kuesioner yang dibuat serinci mungkin. Setiap wawancara direkam untuk kemudian ditranskripsi. Kebetualn lagi bahwa seorang anak tuan rumah mengidap disleksia (kesulitan membaca), sehingga keluarga itu memaklumi ketakberdayaan saya, dan selalu siap membantu saya “memecahkan sandi” dialek Drente. Malahan akhirnya si pengidap disleksia itu kemudian sering menanyakan kepada saya tentang ejaan kata-kata tertentu dalam bahasanya sendiri.

Kalaupun bahasa masyarakat yang diteliti sama denga bahsa peneliti sendiri, adakalanya suatu golongan masyarakat tertentu memiliki cara bertutur dan ungkapan-ungkapan tersendiri. Peneliti perlu mempelajarinya tidak saja untuk mendapatkan dan memahami informasi, tetapi juga untuk membina rapport dengan penduduk setempat. Ini adalah salah satu teknik impression management yang dilakukan beberapa peneliti seperti Elliot Liebow (dalam Hammersley dan Atkinson 1983:78-79) dan Stack yang disebutkan di atas tadi. Stack yang dianggap mewakili kelas menengah WASP di Amerika Serikat semula dipandang dengan penuh kewaspadaan oleh penduduk kulit hitam miskin yang ditelitinya, ketika ia mulai meniru cara bertutur mereka dengan menggunakan kata-kata makian, warga komuniti tersebut mulai mau menerimanya sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari (1974:15-6). Kata-kata makian dalam kasus Stack ini bukan menunjukkan hujatan dan kebencian, melainkan suatu cara untuk menunjukkan keakraban dan keterbukaan di antara orang-orang yang sudah saling mengenal dengan baik, yang tidak memerlukan tirai basa-basi lagi.

Kategori Manusia Sebagai Sumber Informasi

Penelitian perlu mengembangkan pengetahuan mengenai beberapa kategori warga masyarakat serta saling hubungan di antara mereka dalam struktur social setempat untuk memperoleh akses ke informasi. Lazimnya dalam setiap masyarakat ada segolongan kecil orang yang dapat disebut sebagai penjaga gerbang (gatekeeper), yakni mereka yang menguasai sumber-sumber daya terpenting, termasuk informasi, dan berkedudukan menentukan dalam kelompok yang diteliti. Akses ke kelompok yang bersangkutan biasanya didapat setelah ada ijin dari golongan penjaga gerbang ini. Kebanyakan penjaga gerbang adalah para pejabat setempat. Pengetahuan tentang mereka ini penting sekali, mengingat mereka pun cenderung melakukan teknik-teknik impression management untuk memberikan citra yang menurut anggapan mereka paling baik atau paling menguntungkan bagi kelompok yang bersangkutan. Dua kasus berikut ini menggambarkan situasi-situasi yang mempengaruhi pilihan peneliti untuk memanfaatkan atau tak memanfaatkan penjaga gerbang untuk penelitiannya.

Kasus 3. Penjaga Gerbang Membantu sekaligus Menghambat Pengumpulan Data (Selly Riawanti, 1984).
Penelitian ini adalah tentang fungsi hubungan-hubungan informal di kalangan awak bis dalam sebuah organisasi formal, sebuah perusahaan bis kota di Jakarta. Untuk itu diperlukan data tentang perusahaan tempat para awak bis itu bekerja, yang harus diperoleh mel;alui penjaga gerbang organisasi itu, para direksi dan stafnya. Para direksi menganggap bahwa banyak siasat kerja awak bis yang merugikan perusahaan. Mereka mendukung penelitian ini dengan harapan akan mendapatkan saran-saran praktis untuk mengurangi gejala yang dianggap merugikan tersebut. Ketika menghubungi awak bis, guna meyakinkan mereka akan kesungguhan penelitian ini, saya perlihatkan surat ijin dari perusahaan. Alih-alih membantu, tindakan itu ternyata justru menghambat perolehan data yang sahih, karena para awak bis mencurigai saya memata-matai mereka demi kepentingan perusahaan. Menyadari kekeliruan itu, pada kali-kali berikutnya saya tidak lagi menggunakan pendekatan resmi. Saya menyampaikan bahwa saya bermaksud meneliti suka duka kehidupan awak bis dalam pekerjaannya. Pernyataan ini tidak diterima begitu saja. Pada beberap kesempatan mengamati kegiatan awak bis di pool, selalu ada awak bis yang mengawasi dan menanyakan apakah saya melaporkan nama-nam tersebut kepada perusahaan. Saya kemudian memperlihatkan catatan lapangan saya yang hanya mencantumkan inisial mereka, dan menerangkan secara garis besar bahwa peneliti antropologi harus menjaga anonimitas para informannya. Dengan pendekatan ini, selanjutnya para awak bis malahan membantu saya dengan baik sekali, kecuali melarang saya mengikuti kegiatan mereka setelah kembali ke pool pada pukul 22.00, berhubung saya adalah wanita.

Kasus 4. Menghinadari Penjaga Gerbang (Carol Stack 1974)

Menurut Stack, penjaga gerbang dalam momuniti agar berhubungan hanya dengan warga komuniti yang “baik”, artinya yang berpola tingkah laku serupa dengan tingkah laku warga kulit putih kelas menengah di Amerika Serikat. Kecenderungan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kedudukan menguntungkan dari para penjaga gerbang itu diperoleh berkat hubungan baik mereka dengan golongan kulit putih kelas menengah yang dominan di kota setempat. Jika Stack memasuki komuniti miskin tadi melalui para penjaga gerbang ini, ia kwatir akan memperoleh informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada mengenai kehidupan keluarga-keluarga miskin disana. Guna menghindarkan bias ini, Stack memilih jalan lain, yaitu mencari dan membina sendiri hubungan baik dengan seorang gadis dari komuniti ini. Selanjutnya gadis itu menjadi titik masuknya untuk berkenalan dengan warga lain dalam komuniti yang bersangkutan, dan demikian seterusnya. Seperti teknik bola salju, para kenalannya kemudian menjadi sponsor baginya umemperluas jaringan sumber informasi bagi penelitiannya selanjutnya.

Kasus # 4 menunjukkan bahwa peneliti yang dengan sadar memanfaatkan pengetahuan tentang kategori-kategori yang ada dalam masyarakat yang hendak ditelitinya dalam perencanaan pemilihan informan -kebalikan dari kasus 3- dapat menghindarkan peneliti dari bias yang menyulitkan menjaga mutu datanya.

Berkaitan dengan pengaruh kehadiran peneliti dalam latar penelitian dalam upaya memperoleh akses dan membina rapport dengan para warga kelompok yang diteliti, peneliti hendaknya tetap menunjukkan identitasnya sebagai peneliti. Ia dapat saja melakukan impression management untuk mengambil hati para calon informannya, namun identitas sebagai peneliti harus diperhatikan, guna menghindari bias.

Kasus 5. Pakaian sebagai Citra diri yang Diharapkan dari Peneliti (Selly Riawanti 1979)
Penelitian ini mengenai kehidupan para pemulung sampah di sebuah daerah di kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Salah seorang gatekeepernya yang kemudian menjadi informan kunci saya adalah seorang Madura pemilik lapak terbesar di sana. Pada pagi hingga siang hari para laki-laki bekerja memunguti sampah. Dalam kegiatan tersebut, “pakaian dinas” mereka kumal dan buruk. Setiba di permukiman mereka sore harinya, mereka segera mandi dan berganti dengan pakaian yang bersih dan bagus. Sedangkan dalam tiga kunjungan pertama kesana, sesuai dengan gaya berpakaian mahasiswa yang popular di masa itu, saya memakai jeans yang sudah pudar warnanya dan kemeja khaki yang lusuh, tidak jauh berbeda dari pakaian dinas para pemulung. Ketika kami mulai akrab, gatekeeper tadi menegur cara berpakaian saya. Dimintanya agar saya memakai baju yang lebih rapi, agar jelas identitas saya sebagai mahasiswa, yang berkedudukan social jauh di atas gelandangan (ketika itu belum ada istilah pemulung), yang bermaksud meneliti dengan sunguh-sungguh, bukan sekedar iseng-iseng. Lagipula permukiman setempat yang tergolong liar, sering dipakai sebagai tempat melarikan diri dan bersembunyi para penjahat dengan menyamar sebagai gelandangan.


Bernard mengemukakan bahwa sering juga muncul apa yang disebut response effect, yakni perbedaan kualitas data yang berkaiatan dengan karakteristik informan, peneliti dan lingkungan. Di antara contoh yang dikemukannya adalah kajian R.B.Zehner (1970) bahwa para wanita muda Amerika lebih malu-malu mengungkapkan pengalaman perkelaminan sebelum kawin kepada pewanwancara wanita daripada kepada pewawancara laki-laki; sedangkan informasi dari para pria tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin pewawancara (Bernard,1988:221-2). Dalam penelitian temntang kesehatan reproduksi di Tanjung Sari, Sumedang, ditemukan pula bahwa laki-laki yang telah menjalani vasektomi enggan mengungkapkan kepada peneliti wanita (Riawanti, 1993:6-7).

Peneliti di masyarakat yang di dalamnya terdapat faksi0faksi atau kelompok-kelompok yang saling bersaing, membutuhkan kehati-hatian peneliti untuk tidak menunjukkan sikap memihak yang dapat mengundang bias. Salah satu kelompok dapat menganggapnya sebagai saingan atau lawan juga, sehingga menutup akses ke sumber-sumber informasi yang mereka kuasai, karena khawatir peneliti akan menyalahgunakannya untuk kepentingan pihak saingan atu lawan (Bogdan dan taylor,1975:50-1).

Kasus 6. Kedudukan Peneliti dalam Komuniti yang Berfaksi (Junus Melalatao, 1982)

Peneliti ini dilakukan di dua buah kampung di Gayo, Aceh, yang masing-masing merupakan bagian dari sebuah moiety. Dimasa lampau kedua kampung itu saling berseteru. Waktu Melalatoa melakuakan penelitian, ia memilih untuk tinggal di sebuah tempat di luar kedua kampung tersebut, untuk menghindarkan prasangka dari warga kedua kampung. Bahkan informasi yang diperolehnya akan merugikan salah satu pihak. Selama penelitian, ia diawasi dan ditutntut agar bergaul sama banyak dan sama intensif dengan warga kedua kampung. Bahkan assisten penelitiannya pun harus mendapatkan persetujuan dari kedua pihak tersebut.

Setiap kasus di atas nampaknya unik. Adakah kiranya suatu pedoman umum mengenai tipe-tipe informasi yang perlu diperhatikan untuk menghindarkan kesulitan pengumpulan data? Hammersley dan Atkinson mengemukakan bahwa peneliti sebetulnya sering dianggap sebagai penonton oleh warga komuniti yang ditelitinya. Dari sudut pandang mereka, informasi yang diberikan kepada peneliti seringkali tergantung kepada kepentingan atau kebutuhan mereka pula. Berikut ini adalah tipologisifat informan yang diajukan oleh J.P.Dean dkk. (1967, dikutip dalam Hammersley dan Atkinson 1983):

1. Informan yang sangat peka akan masalah yang bersangkutan:
ï‚· orang luar yang melihat gejala yang bersangkutan dari sudut pandang kebudayaan, kelas atau komuniti lain;
ï‚· pendatang baru yang terheran-heran akan berbagai hal yang dipandang sudah lumrah oleh warga komuniti setempat;
ï‚· orang yang memang memiliki sifat pemikiran dan obyektif
2. Informan yang gemar bercerita :
ï‚· orang yang karena latar belakang atau statusnya memang lebih suka berbicara daripada orang lain;
 orang yang naïf yang tak menyadari apa yang dibicarakannya;
ï‚· orang yang frustasi atau pemberontak, terutama yang menyadari bahwa hasratnya tidak terpenuhi;
 orang yang tergolong “veteran” dan mengetahui banyak hal; orang yang tengah berkuasa yang bersemangat mengungkapkan hal-hal negatif mengenai para sejawatnya; yang yang kedudukannya demikian kuat atau terjamin sehingga tak perlu mengkhawatirkan akibat dari isi pembicaraannya dengan orang lain;
ï‚· orang yang memang membutuhkan perhatian. Selama peneliti mau memperhatikannya, ia akan berbicara;
ï‚· orang yang tergolong bawahan yang senantiasa harus menyesuaikan diri dengan atasannya. Mereka biasanya memiliki pengetahuan untuk melindungi diri dari dampak kekuasaan atasannya dan boleh jadi juga memusuhi atasannya.
Semua sifat informan di atas dapat membantu peneliti mengumpulkan informasi, tetapi peneliti perlu mempertimbangkan sifat informasi yang diberikan. Konon sifat-sifat di atas cenderung muncul justru dalam interaksi dengan orang yang mereka ketahui identitasnya sebagai peneliti. Sejarawan A.A.Lucas menduga bahwa sesungguhnya setiap informan –khususnya para pelaku sejarah—memiliki kecenderungan untuk menonjolkan dirinya, memberi kesan bahwa ia lebih tahu daripada orang lain. Oleh karena itu, peneliti perlu selalu membandingkan berbagai versi cerita: “…semakin banyak versi yang diperoleh, semakin mendekati kebenaran…” (Lucas, 1982:237).
Pembandingan informasi dari berbagai sumber ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian tentang triangulasi.
Hal lain yang perlu disadari peneliti berkenaan dengan karakteristik informasi adalah bahwa pengetahuan warga kelompok yang diteliti mengenai struktur yang ideal belum tentu sama dengan struktur yang sesungguhnya berlaku pada masyarakatnya.

Kasus 7. Pengetahuan Informan Mencerminkan Kepentingannya (P.E.de Josselin de Jong 1956)
Penelitian ini dilakukan sekitar empat dasawarsa yang silam di Negeri Sembilan, Malaysia. Penelitiannya mencoba merekonstruksi struktur social setempat yang mencakup pula system perkawinan, melalui sudut pandang para warga kelompok yang ditelitinya. Salah seorang informannya adalah mahasiswa yang menaruh perhatian besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakatnya sendiri. Jadi kalau menurut penggolongan Dean dkk. Di atas seharusnya ia termasuk orang yang peka akan berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.
Namun ternyata pengetahuan sang mahasiswa serba keliru mengenai system perkawinan yang dianut masyarakat setempat. De Josselin de Jong menemukan bahwa ketaktahuannya itu berpangkal dari tiadanya kepentingan si informan terhadap hal yang bersangkutan (dalam hal ini, si mahasiswa belum memiliki ke[pentingan untuk kawin). Orang menjalani kebufdayaannya tanpa banyak piker (irreflectoir), dan ketidaktahuaanya baru terungkap dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti, atau kalau ia harus berhadapan dengan kebudayaan lain yang berbeda atau bertentangan dengan kebudayaannya sendiri.
Selain itu, dalam satu masyarakat bisa terdapat dua atau lebih norma yang saling bertentangan. Masyarakat Minangkabau memiliki pedoman-pedoman normative yang bersumber dari adat dan dari agama islam (syara). Dalam penelitiannya, de Josselin de Jong (1956) menemukan bahwa warga setempat menganggap aturan syara adalah yang paling ideal, sehingga mereka cenderung mengingkari kenyataan bahwa sesungguhnya pola perkawinan mereka terstruktur berdasarkan adat Minangkabau. Maka peneliti seyogyanya selalu mencermati keterangan informan, apakah mencerminakan kenyataan yang ditentukan oleh pilihan-pilihan pelaku, atau menggambarkan struktur yang berlaku umum, atau hanya mengungkapkan hal yang dianggapnya ideal namun ternyata tidak menjadi pedoman bertingkah laku sehari-hari.
TRIANGULASI

Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh N.K.Denzin (1978) dengan meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk pada penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala tertentu. Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber atau metode tertentu dengan data yang di dapat dari sumber atau metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa setiap bias yang inheren dalam sumber data, peneliti, atau metode tertentu, akan dinetralkan oleh sumber data, peneliti atau metode lainnya (Creswell, 1994:174). Stack misalnya, mengungkapakan tiga pengumpul data yang berasal dari komuniti yang ditelitinya, untuk mengamati suatu peristiwa tertentu. Sesuai peristiwa yang diamati, ia membandingkan catatannya sendiri dengan catatan ketiga asistennya tadi, yang dalam banyak hal ternyata sangat membantu untuk memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh mengenai peristiwa yang diamati. Dalam kasus ini, penggunaan asisten dari kalangan penduduk setempat sekaligus merupakan teknik “validasi oleh informan”.

Namun Hammersley dan Atkinson mengingatkan bahwa validasi informan atau responden bisa mengandung bahasa bias. Serupa dengan pengamatan de Josselin de Jong di atas, kedua pengarang ini juga menganggap bahwa tindakan social sering terjadi pada tingkat di bawah sadar, sehingga pelaku sesungguhnya tidak dapat menjelaskan dengan pasti makna tindakannya. Peneliti juga harus berhati-hati dengan triangulasi metode dan peneliti, karena dapat menimbulkan perbedaan konteks, sehingga menghasilkan bias pula (Silverman, 1985 : 21,105).

Siasat triangulasi yang lain adalah dengan memperbandingkan keadaan dari dua kelompok yang berbeda (kira-kira semacam kelompok kontrol). Penelitian De Josselin de Jong mengenai Negeri Sembilan di atas, dilakukannya di dua tempat: (1) di Rembau yang relatif terbuka, dan (2) di Jempol yang relatif tertutup. Kesadaran warga masyarakat akan struktur social di masyarakat mereka lebih tajam di Rembau, dan sebaliknya di Jempol. Mengenai hal ini De Josselin de Jong mengajukan hipotesisnya tentang situasi-kontras: keterbukaan Rembau menyebabkan penduduknya lebih sering berhadapan dengan orang dan kebudayaan lain, sehingga lebih banyak memperhatikan dan mengetahui struktur sosialnya sendiri.



Kesimpulan


Penelitian kualitatif yang mengandalkan metode pengamatan terlibat tidak saja menurut kemampuan akademik penelitinya, tetapi juga menuntut kepekaannya untuk mengenali sifat-sifat manusia, termasuk dirinya sendiri. Aspek manusia dalam penelitian kualitatif betul-betul merupakan aspek yang berperanan penting bagi keberhasilan penelitian, artinya keberhasilan untuk mendapatkan data yang baik mutunya dan penjelasan yang juga sahih. Berkat akumulasi pengalaman peneliti Antropologi dan ilmu social lain di berbagai waktu dan tempat, kini keandalan dan kesahihan hasil penelitian dapat di coba dikendalikan secara terencana melalui triangulasi.




Catatan :
Pengarang lain, Ronald Cohen dan Raoul Narrol (1973:3-24) berpendapat bahwa hal ini justru menghambat perkembangan metodologi dalam antropologi. Teknik “belajar dari pengalaman sendiri” berarti bahwa setiap calon antropologiwan harus membuang waktu yang sama banyak dengan para pendahulunya agar dapat menjadi ahli. Kedua penulis ini lebih condong kepada pendekatan kuantitatif yang lebih memungkinkan peneliti melakukan kajian perbandingan, dan oleh karenanya memungkinkan pengembangan teori dan khususnya perkembangan antropologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan. Namun perdebatan ilmiah dan filsafat mengenai generalisasi dan daya penjelasan masih berlangsung terus, seperti yang antara lain tercermin dalam wacana postmodernism, yang tidak mungkin di bahs di sini.
Istilah ini dipinjam dari Erving Goffman (1959) yang merujuk pada pemakaian atribut-atribut yang diperlukan seseorang untuk menampilkan suatu citra tertentu mengenai dirinya di hadapan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.


BACAAN

Bernard, Russell H. 1988. Research Methods in Cultural Anthropology. London, dll. : Sage Publications.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to the Social Sciences. New York, dll.:John Wiley and Sons.
Cohen, Ronald dan Raoul Narroll. 1973. “Method in Cultural Anthropology”, dalam : R. Cohen dan R. Narrol (pny), A Handbook of Method on Cultural Anthropology. New York, dll: Columbia University Press. Hlm. 3-24.
Cresswell, John W.1994. Research design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks, California, dll:Sage Publications.
Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. Hammondaworth:Penguin Books.
Hammersley, Martin dan Paul Atkinson. 1983. Ethonography : Principles in Practisce. London : Tavistock Publications.
De Josseljn de Jong, P.E. 1956. “De Visie der Participanten op Hun Cultuur”, Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde.
Kirk, Jerome dan Marc L.Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Newbury Park,dll. Sage Publications.
Lucas, Anton A. 1982. “Masalah Wawancara dengan Informan Pelaku Sejarah di Jawa”, dalam :
Koentjaraningrat dan D.K.Emerson (pny), Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia. Hlm. 22-42.
Nagel, Ernst. 1967. The Structure of Science : Problems in the Logic of Scientific Explanation. New York : Harcourt, Brace and World, Inc. Hlm. 1-28.
Riawanti, Selly. 1984. Tim Awak Bis PPD : Pengkajian tentang kelompok-kelompok Kerja Informal dalam Suatu Organisasi Formal. Skripsi S1 Jurusan Antropology FSUI. Tidak diterbitkan.
------------------. 1985. Rencana Masa Depan Remaja di Daerah Pertanian Drente : Studi tentang Pilihan Kerja dan Pandangan tentang Hidup Berkeluarga di Kalangan Remaja Sleen. Laporan Penelitian, Bureau Indonesia Studieen, Leiden. Tidak diterbitkan.
------------------. Qualitative Method in the Research on the Prevalence and Perception of Maternal Morbidity in Tanjung Sari, Sumedang, West Java. Makalah disajikan pada International Maternal Morbidity Research meeting, Bali. Tidak diterbitkan.
Silverman, David. 1985. Qualitative methodology and Sociology : Describing the Social World. Hants,dll : Gower.
Stack, Carol.B. 1974. All Our Kin : Strategies for Survival in a Black Community. New York, dll : Harper and Row.


Perbedaan Dasar Antara Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif


           
Kebutuhan pemahaman yang benar dalam menggunakan pendekatan, metode ataupun teknik untuk melakukan penelitian merupakan hal yang penting agar dapat dicapai hasil yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya. Pendekatan yang mana sebaiknya digunakan dalam penelitian antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif? Tulisan ini akan memberikan ulasan singkat mengenai pengertian dasar dari kedua pendekatan tersebut.

A.    A.     Konsep yang berhubungan dengan pendekatan
Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan  kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut, mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu urut-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis.

Pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel-variabel sebagai obyek penelitian dan variabel-variabel tersebut harus didefenisikan dalam bentuk operasionalisasi variable masing-masing.  Reliabilitas dan validitas merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menggunakan pendekatan ini karena kedua elemen tersebut akan menentukan kualitas hasil penelitian dan kemampuan replikasi serta generalisasi penggunaan model penelitian sejenis. Selanjutnya, penelitian kuantitatif memerlukan adanya hipotesa dan pengujiannya yang kemudian akan menentukan tahapan-tahapan berikutnya, seperti penentuan teknik analisa dan formula statistik yang akan digunakan. Juga, pendekatan ini lebih memberikan makna dalam hubungannya dengan penafsiran angka statistik bukan makna secara kebahasaan dan kulturalnya.


B.     B.     Dasar Teori
Jika kita menggunakan pendekatan kualitatif, maka dasar teori sebagai pijakan ialah adanya interaksi simbolik dari suatu gejala dengan gejala lain yang ditafsir berdasarkan pada budaya yang bersangkutan dengan cara mencari makna semantis universal dari gejala yang sedang diteliti. Pada mulanya teori-teori kualitatif muncul dari penelitian-penelitian antropologi , etnologi, serta aliran fenomenologi dan aliran idealisme. Karena teori-teori ini bersifat umum dan terbuka maka ilmu social lainnya mengadopsi sebagai sarana penelitiannya.

Lain halnya dengan pendekatan kuantitatif, pendekatan ini berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.


C.     C.     Tujuan
Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”.

Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variable, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan  hasilnya.


D.    D.     Desain
Melihat sifatnya, pendekatan kualitatif desainnya bersifat umum, dan berubah-ubah / berkembang sesuai dengan situasi di lapangan. Kesimpulannya, desain hanya digunakan sebagai asumsi untuk melakukan penelitan, oleh karena itu desain harus bersifat fleksibel dan terbuka.

Lain halnya dengan desain penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif, desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya. Desainnya bersifat spesifik dan detil karena desain merupakan suatu rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya. Oleh karena itu, jika desainnya salah, hasilnya akan menyesatkan. Contoh desain kuantitatif: ex post facto dan desain experimental yang mencakup diantaranya one short case study, one group pretest, posttest design, Solomon four group design dll.nya.

E.     E.     Data
Pada pendekatan kualitatif, data bersifat deskriptif, maksudnya data dapat berupa gejala-gejala yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen, artefak dan catatan-catatan lapangan pada saat penelitian dilakukan.

Sebaliknya penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif datanya bersifat kuantitatif / angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variable-variabel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.

F.      F.      Sampel
Sampel kecil merupakan ciri pendekatan kualitatif karena pada pendekatan kualitatif penekanan pemilihan sample didasarkan pada kualitasnya bukan jumlahnya. Oleh karena itu, ketepatan dalam memilih sample merupakan salah satu kunci keberhasilan utama untuk menghasilkan penelitian yang baik. Sampel juga dipandang sebagai sample  teoritis dan tidak representatif

Sedang pada pendekatan kuantitatif, jumlah sample  besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil. Karena pada umumnya pendekatan kuantitatif membutuhkan sample yang besar, maka stratafikasi sample diperlukan . Sampel biasanya diseleksi secara random. Dalam melakukan penelitian, bila perlu diadakan kelompok pengontrol untuk pembanding sample yang sedang diteliti. Ciri lain ialah penentuan jenis variable yang akan diteliti, contoh, penentuan variable yang mana yang ditentukan sebagai variable bebas, variable tergantung, varaibel moderat, variable antara, dan varaibel kontrol. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat melakukan pengontrolan  terhadap variable pengganggu.

G. Teknik
Jika peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, maka yang bersangkutan kan menggunakan teknik observasi atau dengan melakukan observasi terlibat langsung, seperti yang dilakukan oleh para peneliti bidang antropologi dan etnologi sehingga peneliti terlibat langsung dengan yang diteliti. Dalam praktiknya, peneliti akan melakukan review terhadap berbagai dokumen, foto-foto dan artefak yang ada. Interview yang digunakan ialah interview tertutup.

Jika pendekatan kuantitatif digunakan maka teknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, eksperimen dan eksperimen semu. Dalam melakukan interview, biasanya diberlakukan interview terstruktur untuk mendapatkan seperangkat data yang dibutuhkan. Teknik mengacu pada tujuan penelitian dan jenis data yang diperlukan.


H. Hubungan dengan yang diteliti
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti tidak mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan yang dibangun didasarkan pada saling kepercayaan. Dalam praktiknya, peneliti melakukan hubungan dengan yang diteliti secara intensif. Apabila sample itu manusia, maka yang menjadi responden diperlakukan sebagai partner bukan obyek penelitian.

Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif peneliti mengambil jarak dengan yang diteliti. Hubungan ini seperti hubungan antara subyek dan obyek. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang tinggi. Pada umumnya penelitiannya  berjangka waktu pendek.

I. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).

Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dll.nya.

 

Kesimpulan


Kedua pendekatan tersebut masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Pendekatan kualitatif banyak memakan waktu, reliabiltasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti.

Pendekatan kuantitaif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample, pengambilan data dan penentuan alat analisanya.


Daftar Pustaka


Sarwono, Jonathan. 1995. Penuntun Penelitian Praktis, Bandung: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Kristen Maranatha
Davis, Duane dan Conseza Robert. 1985.Business Research for Decision
Making. California: Wadsworth Inc.
Suriasumantri, Yuyun. 1990. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan
Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Faisal, Singgih. 1990. Penelitian  Kualitatif. Malang:YA3






KONSEP MENGAJAR................


KONSEP MENGAJAR
Buku ini tentang mengajar. Isi buku ini berkenaan dengan hubungan antara guru dan siswa – hubungan personal yang terkait satu sama lain dan juga keunikannya. Ini adalah buku penguasaan perilaku/sikap manusia secara menyeluruh.
            Ketika kegiatan mengajar terjadi, sebuah hubungan khusus antar manusia berkembang. Hubungan tersebut terjadi diberbagai dimensi yang secara bersamaan mempengaruhi siswa dan guru. Keduanya dipaksa menghadapi sebuah perjanjian terselubung untuk berbagi informasi, untuk menyampaikan dan menerima banyak pengetahuan, untuk mereplikasi dan mereproduksi hal-hal yang telah diketahui dimasa lalu, untuk  memperoleh dan menemukan informasi baru, dan untuk membangun dan menciptakan jalur terhadap hal-hal yang masih belum diketahui. Hubungan ini tidak terelakkan dapat menumbuhkan perasaan yang timbul diantara guru dan siswa. Perasaan tersebut diantaranya adalah perasaan dalam bekerja sama  atau bersaing, peneriman atau penolakan, kemarahan atau kesenangan. Perasaan itu membuat guru dan siswa untuk berpartisipasi di konteks social yang unik dengan hirarki, peraturan, dan tanggung jawab khusus. Hal ini mengilhami sensasi keindahan, dan mencoba memperluas ikatan dalam diri baik siswa atau guru. Itu juga memicu otak, menstimulasi emosi, dan meningkatkan semangat. Evolusi dari hubungan ini merupakan proses mutlak yang sangat penting dari perkembangan seorang manusia. Setiap kebudayaan meyediakan hubungan ini, setiap orang berpartisipasi dalam hungungan ini, dan setiap proses pendidikan dan tujuannya mengandalkan pada hubungan ini.
            Kemudian, bagaimana seorang guru menterjemahkan proses dan tujuan pendidikan kedalam prosedur, aktifitas, dan perilaku sehari-hari? Masalah-masalah pelaksanaan dan pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi setiap guru setiap hari? Berikut ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam benak setiap guru – baik guru baru maupun guru lama – ketika bersiap memasuki ruang kelas:
1.      Apa yang harus dicapai siswa? Apa tujuan pelajarannya?
2.      Metodologi apa yang akan saya pilih untuk mencapai tujuan tersebut? Perilaku belajar apa yang akan saya gunakan?
3.      Bagaimana rangkaian pelajarannya? Bagaimana saya menyusun materi?
4.      Bagaimana saya mengatur kelas? Bekelompok? Berpasangan? Atau dengan menyediakan aktifitas individual?
5.      Bagaimana saya memotivasi siswa? Bagaimana saya memberikan umpan balik?
6.      Bagaimana saya menciptakan suasana kondusif untuk berfikir, berinteraksi social, perasaan nyaman?
7.      Bagaimana saya tahu siswa saya dan saya mencapai tujuan? Bagaimana kita meraih semuanya? Atau meraih beberapa diantaranya?
8.      Bagaimana saya tahu tindakan yang dilakukan selama pelajaran sejalan dengan perencanaan yang saya buat?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, guru wajib membuat keputusan (pilihan). Banyak cara untuk menjawab pertanyaan ini, dan banyak cara untuk mengajar. Bagaimanapun juga, banyak pilihan dan variasi berbeda dalam mengajar yang berpangkal dari pola universal yang mencerminkan keputusan yang telah dibuat guru dan siswa selama episode berlangsung. Keputusan yang dibuat oleh guru menentukan perilaku mengajarnya, dan keputusan yang dibuat oleh siswa menentukan perilaku belajarnya. Proses belajar mengajar merupakan interaksi keberlanjutan antara perilaku guru dan siswa.
Perilaku Mengajar


Perilaku Belajar
            Buku ini mendeskripsikan pilihan-pilihan yang ada pada interaksi diantara perilaku mengajar dan belajar. Buku ini juga menawarkan beberapa jawaban dari kedelapan pertanyaan diatas yang dapat ditemukan dengan cara:
1.      Mengidentifikasi berbagai jenis pola keputusan
2.      Mengidentifikasi keputusan spesifik yang ada dalam tiap pola keputusan
3.      Menjelaskan kerangka yang menunjukkan hubungan diantara pola yang berbeda-beda itu.
Pola keputusan disebut dengan gaya mengajar, dan sebuah kerangka yang menghubungan gaya mengajar-gaya mengajar yang ada secara bersamaan disebut Spektrum Gaya Mengajar. Spektrum mengidentifikasi struktur dari masing-masing gaya dengan cara menguraikan keputusan yang dibuat guru dan siswa. Spektrum menggambarkan bagaimana mengalihkan keputusan tepat yang dibuat guru kepada siswa sebagaimana keduanya berpindah dari satu gaya ke gaya lain. Hal tersebut menjelaskan pengaruh dari setiap gaya yang pelajar miliki dalam hal ranah kognitif, afektif, social, jasmani, dan rohani.
Apakah yang dimaksud dengan mengajar? Mengajar merupakan kemampuan guru dalam mengetahui dan menggunakan kemungkinan hubungan yang ada dengan siswa – di setiap ranah.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk berperilaku dengan menggunakan gaya yang paling tepat untuk mencapai tujuan dari setiap episode. Ketrampilan mengajar adalah kemampuan untuk berpindah secara perlahan dari satu gaya ke gaya lain sevagaimana tujuan pembelajaran berubah dari satu episode ke episode lain.