belajar untuk meraih miimpi...

wen assallamualaikum..

Sabtu, 26 Juni 2010

ANALISIS KURIKULUM SD DITINJAU DARI ASPEK GERAK DAN KARAKTERISTIK ANAK MENURUT KONSEP DAVID J. GALLAHOE


A. PENDAHULUAN
Pendidikan jasmani dan olahraga merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, yang bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih dan direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan jasmani memiliki sasaran paedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Dalam rangka mendukung pendidikan nasional, sekolah dasar (SD) merupakan suatu jenjang pendidikan yang paling penting keberadaannya. Sehingga peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dari jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Kedudukan SD dianggap sangat penting keberadaannya karena beberapa hal diantaranya adalah : (a). tanpa menyelesaikan pendidikan pada jenjang SD, secara formal seseorang tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di SMP; (b). melalui SD anak dibekali kemampuan dan keterampilan dasar agar mampu mengantisipasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk keterampilan olahraga, serta keterampilan hidup lainnya (life skill); (c). Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang membekali atau dasar-dasar dan mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya.
Memperhatikan betapa penting dan peranannya yang demikian besar, maka pendidiakan dasar (SD) harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik secara social institusional maupun fungsional akademik.
Belajar gerak dan belajar melalui gerak pada anak dengan maksud agar memiliki keterampilan, aktivitas bermain yang merupakan bentuk alternatif utama sebagai pendekatan model pembelajarannya. Karena permainan berperan sebagai kendaraan pertama untuk mempelajari diri sendiri dan dunia sekitarnya. Maka dari itu, dalam pemberian materi ajar pendidikan jasmani di SD sebaiknya dikondisikan dalam bentuk permainan. Namun dari pengamatan dilapangan dan informasi dari para guru pendidikan jasmani di SD khususnya. Keterlaksanaan pola-pola permainan dalam penyampaian materi ajaran sewaktu kegiatan pembelajaran penjas berlangsung memiliki beberapa kendala. Kendala yang dianggap paling krusial dan mungkin bisa dikatakan klasik yakni perlengkapan pembelajaran dan kemampuan kreatifitas guru dalam menciptakan atau mengembangkan model-model pembelajaran, khususnya dalam bentuk aktivitas keterampilan permainan.

B. PEMBAHASAN
1. Kerangka Berpikir Model Pembelajaran Penjasor SD
Menurut Gallahue (1989) implikasi untuk program perkembangan gerak bagi anak – anak usia antara 6 - 10 tahun meliputi beberapa aktivitas, antara lain: (1). Aktivitas untuk memperhalus kemampuan gerak dasar dalam daerah lokomotor, manipulasi , dan kestabilan, (2). aktivitas gerak khusus, (3). aktivitas penemuan dan pengalaman dalam obyek lingkungan , (4). aktivitas penyesuaian diri dengan tempat bermain dan lingkungan, (5). aktivitas imajinasi dan meniru-niru, (6). aktivitas memanjat dan menggantung, (7). aktivitas dalam kelompok kecil, (8). aktivitas berirama untuk memperhalus koordinasi, dan (9). aktivitas macam-macam cabang olahraga atau keterampilan.
Terkait dengan program perkembangan gerak di atas, Sugiyanto dan Sudjarwo (1991) menambahkan bahwa gerak yang diperlukan oleh anak-anak berdasarkan pada sifat-sifat dari perkembangan geraknya meliputi : (1). aktivitas yang menggunakan keterampilan, seperti pengenalan keterampilan olahraga, bermain perlombaan, aktivitas pengujian diri dan aktivitas yang menggunakan alat-alat, berlatih dalam situasi drill, (2). aktivitas secara beregu atau berkelompok. Seperti aktivitas bermain secara berkelompok, menari berkelompok, (3). Aktivitas mencoba-coba.seperti aktivitas mengatasi masalah menurut cara dan kemampuan anak masing-masing, aktivitas gerak tari kreatif, aktivitas latihan gerak untuk pengembangan, dan (4). Aktivitas untuk meningkat kemampuan fisik dan keberanian .seperti permainan combatives, program latihan untuk perkembangan kemampuan fisik, dan latihan relaksasi.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan gerak siswa SD, menurut Wall dan Murray (1994) dapat dilakukan latihan melalui aktivitas : (1) menari (dance), (2) permainan (game), dan (3) senam (gymnastic). Kemudian Ateng (1992) menyatakan bahwa penyajian pembelajaran olahraga di SD sebaiknya dilaksanakan melalui bentuk permainan karena bermain merupakan dunianya anak-anak. Dimana menurut Monks dkk. (1989) menyatakan bahwa usia SD adalah usia masa kanak-kanak.
Dalam buku “Homo Ludens” yang ditulis oleh Huizinga (Soekidjo dan Sitoemorang, 1952) menyatakan bahwa permainan adalah perbuatan atas kemauan sendiri yang dikerjakan dalam batas-batas, tempat dan waktu yang telah ditentukan, diiringi oleh perasaan senang dan merentangkan kesadaran berbuat lain dari kehidupan yang biasanya. Kemudian Werner (1979) menyatakan bahwa aktivitas permainan adalah aktivitas kompetitif yang dilakukan secara individual atau kelompok dengan menerapkan aturan dan penilaian yang obyektif terhadap penampilan kemampuan keterampilan gerak yang memiliki strategi dengan maksud untuk mencapai kemenangan. Begitu juga yang dinyatakan oleh Saunders (1969) dan Stanley (1977) yang dikutip oleh Wall dan Murray (1994) bahwa permainan adalah aktivitas kompetitif secara individual atau kelompok dengan maksud untuk menang, dengan menggunakan strategi dan keterampilan untuk menjaga lawan secara individu atau kelompok dari kemenangan.
Permainan merupakan bagian dari bidang kajian pendidikan jasmani yang mempunyai banyak sekali kegiatannya. Karena permainan dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan yang bersifat jasmani, koordinasi gerak, kejiwaan, dan sosial. Melalui permainan akan terkondisikan dan mempersiapkan anak untuk mampu melakukan aktivitas-aktivitas olahraga lainnya, seperti atletik, sepakbola, bola voli, bola basket, senam, dan berenang (Sutoto, Mukholid, dan Aminah, 1991). Menurut Ateng (1992) dunia SD adalah dunia bermain sehingga penyajian dalam pembelajaran pendidikan jasmaninya haruslah dalam bentuk permainan. Permainan berperan sebagai kendaraan pertama untuk memperlajari diri sendiri dan dunia sekitarnya. Melalui permainan, individual atau kelompok, aktif atau diam, anak-anak mengembangkan pemahaman dasar dari dunia tempat mereka hidup. Bahkan orang yang melarang anak bermain sebenarnya berbuat suatu kejahatan yang besar terhadap anak. Bermain dikalangan manusia, didalam kehidupan bermasyarakat merupakan latihan untuk dapat hidup sebagai manusia. Makin banyak kesempatan bermain, makin sempurnalah penyesuaian anak terhadap kebutuhan hidup dalam masyarakatnya dikemudian kelak (Soekidjo dan Sitoemorang, 1952).
Menurut Soekidjo dan Sitoemorang (1952) pertanyaan yang hakiki yang perlu kita renungkan, sehingga menjadi bahan kajian dalam pengembangan pembelajaran pendidikan jasmani di SD yaitu “mengapa anak-anak suka bermain ?” Anak suka bermain (1) karena melihat contoh yang melakukan permainan sehingga timbul hasrat untuk melakukannya, (2) karena melihat bentuk-bentuk permainannya dirasakan sesuai dengan karakteristik jiwa dan badannya sendiri, (3) karena tertarik oleh teknik-teknik yang ditampilkan dalam permainan itu atau cara bermain seorang pemain, (4) atau karena tertarik oleh suasana persaudaraan, kegembiraan, keperwiraan, kegagahan yang nampak pada suatu permainan yang baik. Disamping sebab-sebab tersebut, ada pula sebab lainnya yang dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran antara lain : (1) ingin bergaul dengan orang lain, (2) ingin tahu akan kemampuan berprestasi dari dirinya dibandingkan dengan prestasi orang lain atau dengan prestasi dirnya di masa yang lalu, (3) ingin mengalami suatu kejadian yang tidak sungguh-sungguh yaitu dalam permainan fantasi dan permainan meniru, (4) ingin mengadu keterampilannya, keberaniannya, dan untung nasibnya dengan orang lain.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Dasar harus dikemas secara lengkap dengan memperhatikan aspek gerak melalui permainan, karena dunia anak adalah dunia bermain. Guru harus mampu mendesain model pembelajaran penjasor SD dari sisi karakter anak, karena begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik serta keterampilan anak, maka ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak.


2. Asas Pengembangan Pendidikan Jasmani dilihat dari Karakteristik Anak
Pendidikan jasmani di Sekolah Dasar mencakup ruang lingkup yang luas karena terkait langsung dengan karakteristik anak-anak dari berbagai usia. Dilihat dari tahapan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak pada tingkat usia sekolah dasar, sedikitnya terlibat 3 tahapan, yaitu:
a. tahapan akhir dari masa kanak-kanak awal (antara usisa 5 – 7 tahun)
b. tahapan masa kanak-kanak akhir (middle childhood), dan
c. tahapan awal dari pra-adolesen ( yang bisa dimulai pada usia 8 tahun atau rata-rata usia 10 tahun)
Demikian juga dalam perkembangan motorik dan keterampilan. Anak-anak usia SD mengalami masa-masa perkembangan motorik dan keterampilan yang berbeda-beda. Pada usia-usia 5 – 8 tahun, anak mulai berurusan dengan kemampuan pengelolaan tubuhnya dan keterampilan dasar seperti keterampilan berpindah tempat (locomotor), gerak statis di tempat (non-locomotor) dan gerak memakai anggota badan (manipulative).
Pada usia di atasnya, anak-anak mulai matang menguasai keterampilan khusus, dari mulai keterampilan manipulatif lanjutan, hingga kegiatan-kegiatan berirama dan permainan, senam, kegiatan di air, dan kegiatan untuk pembinaan kebugaran jasmani. Dalam beberapa cabang olahraga, pentahapan pencapaian keterampilan tingkat tinggi pun sudah dapat mulai dilaksanakan di kelas-kelas akhir SD, misalnya senam, loncat indah, dan renang.
Karena begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik dan keterampilan anak, ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak. Hal ini tidak bisa dibuat begitu saja, sebab perlu diolah sebaik-baiknya dengan pertimbangan yang matang. Pertimbangan tersebut meliputi (1) dasar-dasar pengembangan program, (2) pola pertumbuhan dan perkembangan anak, (3) dorongan dasar anak-anak, dan (4) karakteristik serta minat anak.
3. Dasar-Dasar Pengembangan Program
Ada beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pengembangan program pendidikan jasmani, yaitu:
1. Kurikulum Pendidikan Jasmani haruslah berorientasi kepada anak dan tingkat perkembangannya. Pemilihan kegiatan dalam penjas harus di dasarkan pada tuntutan dan karakteristik anak dan dilengkapi dengan pertimbangan tentang tingkat-tingkat perkembangan mereka. Anaklah yang menjadi pusat kurikulum, dan karenanya pengalaman-pengalaman yang dipilihkan juga harus sesuai dengan kebutuhan mereka.
2. Setiap anak berbeda-beda dalam hal kebutuhan dan kemampuan belajarnya. Setiap anak mempunyai hak untuk mencapai potensinya masing-masing sehingga kurikulum harus memberikan kesempatan agar anak memperoleh pengalaman semacam itu. Anak-anak harus berkembang dalam kecepatan yang sesuai dengan iramanya, dan kurikulum harus mampu meningkatkan perkembangan mereka. Perbedaan-perbedaan individual harus menjadi pedoman dalam menerapkan kurikulum, sehingga tujuan, kegiatan, dan pengalaman belajar lebih memenuhi kebutuhan individual daripada kebutuhan pokok.
3. Anak harus dilihat sebagai manusia yang utuh. Kurikulum hendaknya bertanggung jawab dalam mengembangkan aspek-aspek yang lengkap dari anak-anak, bukan saja keterampilan fisik dan kebugaran jasmani, tetapi mencakup keterampilan kognitif dan keterampilan sosial. Dalam wilayah kognitif misalnya, pembelajaran yang terpadu harus sejalan dengan perkembangan dari kebugaran fisik dan keterampilan. Demikian juga dalam wilayah afektif, pencapaian keberhasilan yang bersifat fisik memainkan peran yang amat penting dalam mengembangkan konsep diri yang positif. Anak-anak yang mencapai efisiensi gerak dan berhasil dalam keterampilannya, akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan sekolahnya daripada yang kurang mampu secara gerak.
4. Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan anak harus diajarkan melalui pendidikan jasmani. Kegiatan pelajaran harus dilaksanakan dalam sifat yang meyakinkan bahwa tujuan-tujuan dari pendidikan jasmani dapat dicapai. Nilai-nilai yang dikandung dalam pendidikan jasmani tidak dicapai secara otomatis atau kebetulan saja. Sifat-sifat seperti kejujuran, fair-play, disiplin diri, dan kerjasama kelompok bukanlah hasil ikutan dari kegiatan fisik. Pendidikan jasmani harus menjadi suatu program pengajaran utama, yang memanfaatkan strategi mrngajar yang bernuansa pendidikan.
5. Gerakan merupakan dasar bagi pendidikan jasmani. Mutu program penjas dapat dinilai berdasarkan mutu pengalaman gerakan yang dialami oleh anak-anak. Pendidikan jasmani memang terdiri atas kegiatan fisik yang harus dilakukan secara aktif. Anak-anak tidak akan dapat mengambil manfaat hanya dari berbaris, menunggu datangnya alat-alat atau mendengarkan penjelasan guru yang panjang. Pendidikan jasmani harus menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk menimba pengalaman gerak.
6. Pembelajaran bukan merupakan kepentingan sesaat, tapi harus memberikan keterampilan yang berguna untuk seumur hidup. Dalam masyarakat modern dewasa ini, pemeliharaan kebugaran jasmani dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan utama. Dengan demikian pendidikan jasmani harus memberikan program yang cukup dinamis agar mampu mengembangkan kebugaran jasmani peserta didik. Kebugaran merupakan dasar untuk pencapaian keterampilan gerak. Pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan anak dan beban latihannya disesuaikan dengan kesangupan setiap siswa.

4. Kurikulum Pendidikan Jasmani dan Olahraga SD
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Muatan wajib kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.


Keterangan :
*) Diajarkan sebagai kegiatan pilihan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah
**) Materi pilihan, disesuaikan dengan fasilitas dan peralatan yang tersedia
***) Diajarkan sebagai kegiatan yang dapat dilakukan dalam semester 1 dan atau semester 2

Karakteristik Masa Anak-anak usia 6 Sampai 10 Tahun ditinjau dari Ranah Kognitif, Afektif, Perkembangan Gerak dan Implikasi Program Perkembangan Gerak
A). Karakteristik Perkembangan Fisik dan Gerak
1. Anak laki;laki dan perempuan memiliki tinggi badan dari sekitar 44 sampai 60 inci (111,8-152,4 cm) dan memiliki berat badan 44 sampai 90 pounds (20.0-40.8 kg)
2. Pertumbuhan melambat, terutama dari usia 8 hingga terakhir dari periode ini. Ada saat pertumubuhan melambat tetapi masih ada kenaikan-kenaikan, tidak seperti keuntungan kecepatan penambahan tinggi dan berat selama masa pra-sekolah.
3. Tubuh mulai bertambah tinggi, dalam satu tahun tingginya bertambah dari 2 sampai 3 inci (5.1-7.6 cm) dan dalam satu tahun berat badan bertambah dari 3 sampai 6 pounds (1.4-2.7 kg).
4. Cephalocaudal (dari kepala ke kaki) dan proximodistal (pusat ke batas luar) prinsip-prinsip dari perkembangan di mana pada kenyataannya otot-otot yang besar dari tubuh itu lebih cepat perkembangannya dibanding otot-otot yang kecil.
5. Anak perempuan secara umum sekitar satu tahun di depan anak laki-laki di dalam perkembangan fisiologis, dan membedakan minat mulai muncul pada akhir periode ini.
6. Pilihan tangan adalah sekitar 85 persen lebih menyukai tangan kanan dengan dibentuk kuat dan sekitar 15 persen yang lebih menyukai tangan kiri
7. Waktu untuk bereaksi melambat, menyebabkan kesukaran mata menyampaikan dan memandang koordinasi kaki pada awal periode ini. Pada akhirnya mereka secara umum lebih mapan.
8. Anak laki-laki dan anak perempuan adalah keduanya penuh dengan energi tetapi sering kali rendah dalam menguasai daya tahan, mengukur daya tahan dan mudah lelah. Kemampuan reaksi pada latihan bagaimanapun sangat besar.
9. Mekanisme-mekanisme perceptual visual secara penuh dibentuk/mapan pada akhir periode ini.
10. Anak-anak memiliki penglihatan jauh selama periode ini dan secara umum tidak siap bagi periode untuk pekerjaan yang dekat .
11. Kemampuan-kemampuan gerakan yang paling pokok mempunyai potensi menjadi baik digambarkan oleh permulaan dari periode ini.
12. Keterampilan-keterampilan dasar penting bagi keberhasilan permainan menjadi modal untuk dikembangkan.
13. Aktivitas yang yang melibatkan mata dan anggota tubuh- anggota tubuh lain berkembang pelan-pelan. Aktivitas seperti itu seperti memvoly atau membentur bola yang di berdirikan dan melempar memerlukan praktek yang cukup yang mempertimbangkan untuk penguasaan.
14. Periode ini menandai suatu transisi dari kemampuan-kemampuan gerak dasar murni ke penetapan ketrampilan-ketrampilan gerak transisi dalam kepemimpinan permainan dan ketrampilan-ketrampilan atletis.

B). Karakteristik-Karakteristik Perkembangan ditinjau dari Ranah Kognitif
1. Tahap perhatian adalah secara umum masih singkat pada awal periode ini, tetapi secara berangsur-angsur akan meluas. Bagaimanapun juga, anak laki-laki dan perempuan dari usia ini akan sering kali memanfaatkan jam untuk aktivitas yang menjadi minat besar mereka.
2. Mereka bersiap-siap untuk belajar dan untuk menyenangkan orang dewasa (orang di sekitarnya), tetapi mereka masih membutuhkan bantuan dan bimbingan di dalam membuat keputusan-keputusan.
3. Anak-anak mempunyai imajinasi yang baik dan penampilan kreatif yang sangat baik; bagaimanapun rasa malu kelihatan untuk menjadi suatu akhir dari periode ini.
4. Mereka sering tertarik akan televisi, komputer-komputer, game-game video, dan membaca.
5. Mereka tidak mampu berpikir abstrak dan sukses terbaik dengan contoh-contoh nyata dan situasi-situasi selama permulaan dari periode ini. Lebih banyak kemampuan-kemampuan teori abstrak bersifat jelas pada akhir periode ini.
6. Anak-anak dengan beralasan curiga dan ingin mengetahui "mengapa."

C). Karakteristik Perkembangan ditinjau dari Ranah Afektif .
1. Minat dari anak laki-laki dan anak perempuan bersifat sebangun pada awal periode ini tetapi segera mulai untuk berbeda/ menyimpang.
2. Anak adalah berpusat pada diri sendiri dan bermain dengan kurang baik di dalam kelompok-kelompok yang besar untuk periode waktu yang lama selama tahun yang utama, situasi-situasi kelompok kecil dengan ditangani dengan baik.
3. Anak sering agresif, membual, kritis, reaksi yang berlebih, dan menerima kekalahan dan memenangkan dengan kurang baik.
4. Ada satu tidak konsisten tingkat kedewasaan; anak itu sering lebih sedikit bersikap dewasa di rumah dibanding di sekolah.
5. Anak mau mendengarkan yang berwibawa, "adil" hukuman, disiplin, dan penguatan.
6. Anak-anak bersifat ingin/gembira dan senang bertualang untuk dilibatkan dengan seorang teman atau kelompok para teman di dalam "berbahaya" atau "rahasia" aktivitas.
7. Konsep diri anak itu menjadi dengan kuat dibentuk/mapan.

D). Pelaksanaan untuk Program Perkembangan Gerak
1. Harus ada peluang untuk anak-anak untuk menyuling kemampuan-kemampuan gerakan pokok di dalam bidang-bidang lokomotor, manipulasi, dan stabilitas sampai batas di mana mereka cairan dan efisien.
2. Bantuan kebutuhan anak-anak di dalam membuat transisi dari tahap gerakan pokok sampai tahap gerakan yang khusus.
3. Penerimaan dan pernyataan mengatakan kepada anak-anak bahwa mereka mempunyai kelompok dan mengamankan tempat-tempat di dalam sekolah mereka dan rumah mereka.
4. Peluang besar untuk dorongan dan penguatan positif dari orang dewasa adalah perlu mempromosikan pengembangan yang dilanjutkan dari konsep diri yang positif.
5. Peluang dan dorongan untuk menjelajah dan eksperimen melalui gerakan dengan tubuh dan obyek mereka di dalam lingkungan meningkatkan efisiensi gerak perceptual.
6. Harus ada praktek agar merasakan di mana ada tanggung jawab lebih besar semakin diperkenalkan dengan mempromosikan kepercayaan pada diri sendiri.
7. Anak-anak belajar untuk melakukan penyesuaian kepada cara yang lebih berat pada tempat bermain dan lingkungan tanpa menjadi kondisi yang kasar atau diri mereka kasar.
8. Peluang untuk pengenalan berangsur-angsur untuk menggolongkan dan aktivitas regu harus disediakan di waktu wajar.
9. Aktivitas Imajiner dan meniru-niru bisa secara efektif disatukan ke dalam program selama tahun pokok karena imajinasi-imajinasi anak-anak itu masih bersemangat
10. Aktivitas yang dilakukan pada tingkat ini dengan melibatkan pemakaian musik dan irama bersifat menyenangkan dan bersifat berharga di dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan gerak pokok, kreativitas, dan suatu pemahaman dasar komponen-komponen dari musik dan irama.
11. Anak-anak pada tingkatan ini belajar terbaik melalui keikutsertaan yang aktif. Pengintegrasian konsep-konsep akademis dengan aktivitas gerakan menyediakan satu jalan lebar yang efektif untuk menguatkan ketrampilan-ketrampilan pemikiran kritis.
12. Aktivitas yang melibatkan memanjat dan menggantung adalah berpengaruh baik bagi perkembangkan batang tubuh bagian atas dan harus tercakup di program.
13. Diskusikan situasi dalam permainan termasuk peraturan permainan seperti itu seperti mengambil giliran, perlakuan wajar, tidak menipu, dan nilai-nilai yang umum lainnya sebagai alat penetapan suatu pengertian yang lebih lengkap dari yang benar atau salah.
14. Mulai untuk menekankan ketelitian, wujud, dan ketrampilan di dalam kinerja dari ketrampilan-ketrampilan gerakan.
15. Beri dorongan kepada anak-anak untuk berpikir sebelum mereka bertindak dalam satu aktivitas. Membantu mereka mengenali alat yang berpotensi bahaya sebagai alat mengurangi perilaku mereka yang sering kali sembrono.
16. Mendorong ke aktivitas kelompok kecil yang diikuti oleh aktivitas kelompok yang lebih besar dan pengalaman olahraga beregu.
17. Penampilan adalah penting. Aktivitas perlu untuk menekan kelurusan tubuh yang tepat.
18. Penggunaan dari aktivitas yang berirama untuk menyaring koordinasi yang diinginkan.
19. Keterampilan-keterampilan gerakan khusus dikembangkan dan dipilih pada akhir periode ini. Pentingnya waktu luang untuk praktek, dorongan, dan instruksi selektif.
20. Keikutsertaan yang muda di dalam aktivitas olahraga yang bersifat untuk perkembangan yang sesuai dan menghubungkan kebutuhan dan minat dari anak-anak harus diberikan dorongan.

C. KESIMPULAN
Pembelajaran pendidikan jasmani dan olahraga di Sekolah Dasar harus dikemas secara lengkap dengan memperhatikan aspek gerak melalui permainan, karena dunia anak adalah dunia bermain. Guru harus mampu mendesain model pembelajaran penjasor SD dari sisi karakter anak, karena begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik serta keterampilan anak, maka ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak.
Karena begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik dan keterampilan anak, maka ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak. Hal ini tidak bisa dibuat begitu saja, sebab perlu diolah sebaik-baiknya dengan pertimbangan yang matang. Pertimbangan tersebut meliputi (1) dasar-dasar pengembangan program, (2) pola pertumbuhan dan perkembangan anak, (3) dorongan dasar anak-anak, dan (4) karakteristik serta minat anak.
Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang termuat dalam Kurikulum SD sudah cukup relefan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta karakteristik anak, namun implementasinya dilapangan masih terdapat kekurangan. Guru dalam melaksanakan tugas mengajarnya sering mengabaikan proses modifikasi model pembelajaran yang sesuai dengan aspek-aspek kebutuhan anak.






D. KEPUSTAKAAN

Darmawan Pura, dan dkk, Peneliti Bidang Pengembangan Kesegaran Jasmani dan Pendidikan Jasmani, http://www.adobe.com/rdrmessage-crate4-ENU, 2007

David. L. Gallahue., John C. Ozmun (1998). Understanding Motor Development (Infant, Children, Adolecents, Aduls).

Depdiknas, Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, 2001.

Harsuki H. Dan Elias Soewatini. Perkembangan Olaharaga Terkini, Kajian Para Pakar, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Mahendra Agus, Falsafah Pendidikan Jasmani, CopyRight @Direktorat PLB 2004 Versi @ 2006.

PENERAPAN KONSEP BELAJAR MOTORIK KETERAMPILAN GERAK DASAR TERHADAP KURIKULUM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNTUK SEKOLAH DASAR (SD) KELAS I


A. Latar Belakang
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan sebagai suatu proses pembinaan manusia yang berlangsung seumur hidup, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan yang diajarkan di sekolah memiliki peranan sangat penting, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dalam berbagai pengalaman belajar melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang terpilih yang dilakukan secara sistematis. Pembekalan pengalaman belajar itu diarahkan untuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat.
Pendidikan memiliki sasaran pedagogis, oleh karena itu pendidikan kurang lengkap tanpa adanya pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, karena gerak sebagai aktivitas jasmani adalah dasar bagi manusia untuk mengenal dunia dan dirinya sendiri yang secara alami berkembang searah dengan perkembangan zaman.
Selama ini telah terjadi kecenderungan dalam memberikan makna mutu pendidikan yang hanya dikaitkan dengan aspek kemampuan kognitif. Pandangan ini telah membawa akibat terabaikannya aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni, psikomotor, serta life skill. Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan akan memberikan peluang untuk menyempurnakan kurikulum yang komprehensif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan media untuk mendorong pertumbuhan fisik, perkembangan psikis, keterampilan motorik, pengetahuan dan penalaran, penghayatan nilai-nilai (sikap-mental-emosional-sportivitas-spiritual-sosial), serta pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan kualitas fisik dan psikis yang seimbang.


B. Tujuan
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih
2. Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik.
3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar
4. Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan
5. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis
6. Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
7. Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.




C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup mata pelajaran Pendiidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya
2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya
5. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya
6. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan,
berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung
7. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari- hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS. Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.
D. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Kelas I, Semester 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Mempraktikkan gerak dasar ke dalam permainan sederhana/ aktivitas jasmani dan nilai yang terkandung di dalamnya 1.1 Mempraktikkan gerak dasar jalan, lari dan lompat dalam permainan sederhana, serta nilai sportivitas, kejujuran, kerjasama, toleransi dan percaya diri
1.2 Mempraktikkan gerak dasar memutar, mengayun ataupun menekuk dalam permainan sederhana, serta nilai sportivitas, kejujuran, kerjasama, toleransi dan percaya diri
Mempraktikkan gerak dasar lempar tangkap dan sejenisnya dalam permainan sederhana, serta nilai sportivitas, kejujuran, kerjasama, toleransi dan percaya diri
2. Mendemonstrasikan sikap tubuh dalam berbagai posisi
2.1 Mendemonstrasikan sikap tubuh dalam posisi berdiri
2.2 Mendemonstrasikan sikap tubuh dalam posisi berjalan
3. Mempraktikkan senam lantai sederhana tanpa alat dan nilai yang terkandung di dalamnya 3.1 Mempraktikkan gerak keseimbangan statis tanpa alat, serta nilai percaya diri dan disiplin
3.2 Mempraktikkan gerak keseimbangan dinamis tanpa alat, serta nilai percaya diri dan disiplin
4. Mengungkapkan perasaan melalui gerak berirama dan nilai yang terkandung di dalamnya 4.1 Mempraktikkan gerak bebas berirama tanpa menggunakan musik dan nilai disiplin dan kerjasama
4.2 Mempraktikkan gerak bebas berirama menggunakan musik dan nilai disiplin dan kerjasama
5. Menerapkan budaya hidup sehat 5.1 Menjaga kebersihan diri yang meliputi kuku dan kulit
5.2 Mengenal pentingnya imunisasi

E. Model Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Berdasarkan Penerapan Belajar Motorik Keterampilan Gerak Dasar.

NO Karakteristik Usia > 6 Tahun Kompetensi Dasar Kegiatan Pengembangan
1 Beberapa macam gerak dasar dan variasinya
yang makin dikuasai atau mulai dilakukan ,
seperti:
1. Berjalan
2. Mendaki
3. Meloncat dan berjengket
4. Mencongklang dan lompat tali
5. Mcnycpak
6. Melempar
7. Menangkap
8. Memukul bola Anak terampil menunjukan gerak dasar (berjalan) & kreativitas gerak.

Meningkatkan kebugaran jasmani anak
1.Berjalan bebas di ruangan, mata inelihat ke langit-langit.
2. Berjalan dengan aba-aba dengan mengubah arah.
3. Berjalan copal, lambat. Kuat seperti gajah, Lambat seperti keong.
4. Berjalan ggjah, seperti terbang bunmg, kelinci dan lain-lain.
5. Berjalan mengikuti tempo/irama musik.
6. Berjalan zig-zag.
7. Berjalan dengan langkah lebar menempuh jarak.
8. Berjalan secepat-ceputnya, selambat¬lambatnya.
9. Berjalan seolah membawa beban

2 Anak terampil menunjukan gerak dasar (berjalan) & kreativitas gerak.

Meningkatkan kebugaran jasmani anak
1. Melalui permainan sederhana yang mengharuskan lari (kucing, tikus, hitam hijau, menjala ikan).
2. Lari di tempat dalam lingkaran bujur sangkar. diagonal¬
3. Lari berirama berkawan 3 hitungan 5 hitungan dan sebagainya.
4. Lari niendadak berhenti ke depan. ke belakang. ke samping)
5. Lari dikombinasikan dengan loncat, jingkat dll.
6. Lari melewati tali berputar.
7. Lari zig-zag
3. Lari menyesuaikan dengan tempo irama.
9. Lari kuda, kijang.
10.Lari secepatnya dan selambatlambatnya
11. Lari heranting (rellay/estafet).
12. Lari hilir mudik (shuttle run).

3 Anak terampil menunjukan gerak dasar ( melompat) dan kreativitas gerak.

Meningkatkan kebugaran jasmani anak
1. Mendai at dengan tapak kaki.
2. Mendarat dengan lutut Tunis.
3. Berjingkat di tempat beberapa kali kemudian jatuh kaki yang lain.
4. Berjingkat membuat Iinakaran, segi empat, bujur sangkar dll
5. Berjingkat serendahnya kemudian dengan kaki itu menolak setinggi-tingginya
6. Berjingkat menurut tempo/musik.
7. Berjingkat berteman
8. Menirukan langkah kuda di ruangan
9. Berkawan dengan tempo/irama musik.
10. Dengan mengikuti arah gambar Iantai
11. Dengan merunduk rendah, dengan tegap.
12. Langkah skip ke segala arah dengan iringan musik
13. Berkawan, bergandengan bersehelahan, bergandengan berhadapan.
14. Langkah skip dengan tempo lambat sedang dan cepat

4 1. Meloncat dan mendarat kedua kaki
2. Lari melonncat dan mendarat keberbagai arah
3. Meloncat gulungan matras
4. Meloncat di udara berputar
5. Meloncat di udara memegang lutut
6. Lari cepat kemudian berhenti
7. Lari, berhenti dengan aba-aba.
8. Permainan kejar-kejaran (menghindar)
9. Menghindar dari lemparan bola lembut.
10. Berkawan mengetik bagaian tubuh.

5 Anak terainpil menunjukan gerak dasar manipulatif (melempar & memukul) dan kreativitas gerak

Meningkatkan kebugaran jasmani anak 1. Melempar dengan satu tangan di atas bahu mengunakan bola modifikasi (sponge. Bola kacang merah).
2. Melempar ke gambar/sasaran.
3. Melempar dan menangkap berteman.
4. Gunakan bola modifikasi dilemparkan ke sasaran untuk mengembangkan akurasi.
5. Melempar dengan satu tangan di bawah.
6. Menggelindingkan bola
7. Memasukan bola ke sasaran lubang horizontal/vertikal.
8. Lempar bola ke atas di tangkap sendiri dengan bola modifikasi
9. Menangkap bola dengan berlari
10. Menangkap bola dengan jarak yang makin jauh
11. Melambungkan bola ke atas setinggi¬ tingginya
12. Memukul bola modifikasi ke atas lengan tangan. ke depan. ke samping.
13. Memukul bola modifikasi dengan pemukul.


6 Anak terampil menunjukan gerak dasar (non lokomotor) dan kreativitas gerak

Meningkatkan kebugaran jasmani anak
1. Mengulur dan meregangkan tubuh
2. Meugulur dan meregangkan anggota gerak
3. Mengulurkan ke segala arah denganmembukahnenutup jari
4. Membongkokan badan ke segala arah
5. Ayunkan kaki. lengan. badan dengan iringan musik
6. Mengerakan pergelangan tangan di alas kepala, ke samping lengan lruus
7. Mengayunkan lengan ke depan. belakang dengan melangkah kaki.
8. Ayunkan badan seperti pohon bertiup angin kencang
9. Mengayunkan badan sejauh-jauhnva ke segala arah
10. Memutara salah satu bagian dari tubuh ke segala arah (kepala, bahu, pinggang, pinggul).
11. Memutar dengan cepat, lambat.
12. Melakukan putaran harus arah kiri atau kanan, mulai putaran separuh Kemudian penuh.
13. Memutar berkawan

E. Contoh-contoh Sarana Pengembangun
Alat : Tali tambang besar
Tujuan : Mengembangkan kemampuan gerak dasar jalan dan keseimbangan melalui berjalan diatas tali.


Alat : Kantung kacang, 3 buah ban sepaeda bekas dicat, kapur tulis
Tujuan : Gerak dasar manipulatif, melempar pada target diharapkan anak dapat mendemontrasikan koordinasi mata tangan.

Alat : Tangga bambu atau alumunium
Tujuan : Pengembangaan gerak dasar jalan dan keseimbangan, kreativitas gerak dengan kegiatan anak ditugaskan untuk menunjukan berapa cara berjalan melalui tangga.
Alat : Papan titian dengan ketinggian rendah
Tujuan : Pengembangan gerak dasar jalan, dan lari serta keseimbangan
Gambar

E. Arah Pengembangan
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

UMPAN BALIK DALAM BELAJAR GERAK


I. PENDAHULUAN
”Umpan balik adalah perilaku guru untuk membantu setiap anak yang mengalami kesulitan belajar secara individu dengan cara menanggapi hasil belajar anak sehingga lebih menguasai materi yang diberikan dan telah disampaikan oleh guru”. Sementara itu umpan balik digunakan untuk membantu pelajar dalam mengatasi kesulitan baik secara klasikal maupun secara individual disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik”. Dengan umpan balik maka guru dapat membantu setiap anak yang mengalami kesulitan belajar secara individual dengan cara memberikan pujian, kritikan dan arahan serta tanggapan terhadap hasil pekerjaan pelajar selama proses belajar mengajar berlangsung. Hal ini sejalan dengan pendapat Laurance dalam Tabrani (1994 : 181) yang menyatakan ”guru hendaknya menempatkan diri berdampingan dengan pelajar sebagai senior yang selalu siap menjadi nara sumber atau konsultan” .

II. PEMBAHASAN
A. SUMBER UMPAN BALIK
Wujud paling umum yang sering dilakukan dalam memberikan umpan balik kepada seorang pelajar adalah dalam bentuk uraian-uraian dan demonstrasi-demonstrasi lisan (verbal). Selain itu ada juga sumber-sumber lain yang dapat digunakan untuk memberikan umpan balik, antara lain :

1. Umpan Balik Melalui Pendengaran
Dalam beberapa kejadian umpan balik yang digunakan dapat berwujud indera pendengar (pendengaran). Sebagai contoh, bunyi-bunyian sebagai akibat dari eksekusi merupakan ketrampilan yang dapat membantu para pelajar dalam mengevaluasi kinerja mereka. Informasi tentang irama dapat juga disampaikan melalui tepukan tangan. Sebagai tambahan, dibalik pendengaran, bunyi bel listrik merupakan wujud dan memperingatkan isyarat-isyarat, seperti sistem peringatan terlalu dekatnya tanah dengan pesawat terbang untuk melakukan pendaratan.

2. Umpan Balik Dalam Bentuk Visual
Umpan balik dapat juga diberikan secara visual/pertunjukan. Game Statistics berupa grafik-grafik yang ditampilkan secara terpola dalam bentuk target-target dan potret dalam bingkai kaca, sehingga dapat menampilkan informasi penting dalam berbagai komponen-komponen ketrampilan. Grafik komputer juga telah menjadi alat umpan balik yang bermanfaat dan populer yang diberikan pada anak-anak dalam beberapa kelas-kelas Pendidikan Jasmani. Sekarang mereka dapat menggunakan Handheld PCs saku untuk menguji data yang diperoleh dari laju denyut jantung pada monitor. Kemajuan teknologi juga telah membuat alat analisis ketrampilan dapat diakses berbasis-komputer. Program-program ini menciptakan penyajian-penyajian suatu gerakan yang dapat mengkalkulasi secara nyata dan melukiskan banyak variabel-variabel kinematik, termasuk waktu, jarak, percepatan dan penjuru/sudut-sudut. Sementara penelitian-penelitian tentang efektivitas dari umpan balik kinematik dibatasi, hasil-hasil sampai saat ini sudah menemukan dampaknya untuk menjadi hal positif (Swinnen, Walter, Lee & Serrien, 1993; Wood, Galiagher, Martino & Ross, 1992). Pengembangan terbaru dalam sistem umpan balik kinematik waktu nyata (eg., Hawkins, 2000) perlu menyediakan lebih lanjut pengertian yang mendalam sekitar efektivitas dari wujud ini informasi tentang peningkatan ketrampilan.
3. Umpan Balik dengan menggunakan alat Video Tape
Teknik pemberian umpan balik berikutnya adalah dengan menggunakan alat Video tape, yang bertujuan untuk memudahkan para pelatih dan guru melakukan pengamatan serta memberikan instruksi. Video tape adalah alat yang dapat menangkap penampilan atau gerak seseorang dan dapat merekam gambarnya untuk kemudian dapat disimpan dan diamati sewaktu-waktu. Agar lebih efektif maka para pelajar harus memahami tentang apa yang akan diamati dan bagaimana caranya menginterpretasikan apa yang nantinya akan diamati. Dua hal tersebut sangatlah penting. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Rothstein dan Arnold (1976), tentang kemampuan pelajar yang memakai video tape sebagai salah satu teknik pemberian umpan balik (feedback), disimpulkan bahwa ketika pelajar diberikan tanda untuk menarik perhatian mereka, dan itu merupakan aspek yang sangat penting dari pengulangan penampilan, akibatnya mereka mampu menghasilkan prestasi lebih baik sebagai akibat penggunaan video tape sebagai sebuah sumber informasi untuk memudahkan memahirkan ketrampilan mereka, terutama bagi pelajar-pelajar pemula. Tanpa adanya tanda yang diberikan tersebut, para pelajar pemula mungkin menjadi kewalahan oleh banyaknya informasi yang disampaikan (Newell dan Walter, 1981). Manfaat dari memakai video tape feed back (VTFB) tidak terbatas pada para pelajar pemula saja. Baru-baru ini sebuah penelitian dari ahli senam menggambarkan dengan memberikan tanda dan melalui video tape feed back (VTFB) mampu mengembangkan penemuan-penemuan sebelumnya sehingga menghasilkan prestasi atlet senam yang lebih baik. VTFB ternyata sangat bermanfaat dan juga dipakai dalam dunia seni peran (Menickelli, Landin, Grisham dan Hebert, 2000).
Video tape replay dapat membantu kita menunjukkan hal-hal yang lebih efektif dilakukan, dan juga dapat memberikan informasi tentang kesalahan-kesalahan dasar yang kita buat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kernodle dan Carlton (1992), perhatian terfokus (contoh : fokus pada tangan kiri pada saat melepaskan bola), dan untuk melihat kesalahan yang dibuat (contoh : mengulurkan tangan kiri pada saat melepas bola) lebih baik daripada penetapan KR (invormasi lisan tentang hasil) dan KP (video tape replay) untuk pelajaran melempar dan pukulan overhand. Sebagai tambahan, peserta-peserta itu menerima informasi terlebih dahulu dari kesalahan-kesalahan dasar yang mereka lakukan, tanpa melepaskan unsur teknik sebagai perbandingannya.
4. Langkah-langkah umpan balik melalui Video Tape
Hebert, Landin dan Mienickelli (1998) memperkenalkan empat langkah terpisah yang diberikan kepada pelajar-pelajar pemula ketika diperkenalkannya video tape sebagai teknik umpan balik. Darden (1999) membagi langkah-langkah pemberian umpan balik melalui video tape ini menjadi 4 bagian, yakni : penampilan awal, deteksi kesalahan, koreksi kesalahan dan perbaikan berdasarkan pada karakteristik dari masing-masing atlet.
Pada tahap penampilan awal, mula-mula para pelajar diperintahkan untuk mengamati gambar mereka sendiri dalam video tape, akibatnya mereka sangat gembira melihat penampilan mereka. Sebelum mereka mulai menggunakan video tape sebagai suatu alat untuk mereview, mereka juga dapat melihat diri mereka melalui media TV dan Video. Setelah itu barulah ditunjukkan aspek teknis dari kesalahan-kesalahan gerak/penampilan mereka.
Pada tahap deteksi kesalahan, para pelajar mulai secara kritis mengamati gerakan praktek mereka dan mencoba untuk mengidentifikasi lebih spesifik kesalahan gerak/penampilan mereka. Pada bagian ini perhatian harus terfokus pada gerakan yang dilakukan, memberikan tanda pada kesalahan yang terjadi, sehingga dapat memudahkan dalam pengembangan kemampuan deteksi kesalahan.
Dalam tahap koreksi kesalahan, seorang pelajar setelah mampu mendeteksi kesalahannya, maka dengan bantuan dan bimbingan dari praktisi berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan gerakan-gerakan yang masih belum sempurna.
Tahap terakhir yaitu tahap perbaikan berdasarkan pada karakteristik dari masing-masing atlet, praktisi harus memperhatikan karakteristik pelajar/siswanya dikarenakan kemampuan masing-masing pelajar pasti akan berbeda-beda. Seorang praktisi tidak boleh menyama-ratakan proses perbaikan kesalahan gerakan, tetapi harus tetap memperhatikan skill dari masing-masing pelajar.

B. PERALATAN DAN LATIHAN
Latihan dan peralatan merupakan dua aspek yang sangat berhubungan dalam pemberian umpan balik pada suatu gerakan. Sebagai contoh, sebuah perkumpulan telah merancang alat yang dapat ditempelkan pada suatu peralatan olahraga, untuk mendeteksi gerakan yang dilakukan seseorang. Mereka mengambil contoh pada pelajar yang melakukan pukulan golf/shot (Owens &Bunker, 1995). Stick golf disambungkan alat (chip), yang berfungsi untuk mendeteksi kesalahan yang dilakukan oleh pemain tersebut. Ketika tangan pemain itu mengayun terlalu jauh dari tubuh, maka alat yang disambungkan tersebut akan menyentuh badan pemain. Hal itu menandakan pukulan yang dilakukan adalah salah.
Untuk memberikan umpan balik tidak harus berdasarkan alat yang canggih atau modern. Seorang praktisi dituntut untuk dapat memodifikasi pemberian umpan balik agar tidak menimbulkan kejenuhan pada para pelajar. Sebagai contoh, permainan tangkap telur. Dalam permainan ini pelajar A dan pelajar B membuat jarak tertentu. Kedua pelajar tersebut saling melempar dan menangkap telur mentah. Telur yang jatuh atau karena mencengkram telurnya terlalu kuat mengakibatkan telur pecah. Bermain tangkap telur itu juga merupakan suatu latihan keterampilan dan peran seorang praktisi untuk memberikan perbaikan untuk meminimalisir tingkat kesalahan pelajar. Dengan demikian disamping unsur bermain, unsur latihan keterampilan juga terakomodir dan pelajar tidak cepat merasa bosan.
Cheryl A. Cooker, Motor Learning and Control (Sources of Augmented Feedback), 2004

Senin, 21 Juni 2010

INTELIGENSI (INTELLIGENCE)

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Intelegensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Di mana biasanya individu yang memiliki intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Namun perlu ditekankan bahwa intelegensi itu bukanlah IQ di mana kita sering salah tafsirkan. Sebenarnya intelegensi itu menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui tingkat intelegensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat intelegensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, Ia akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya
Disamping itu emosi juga mengambil peran penting dalam menentukan sikap individu yang lansung berhubungan dengan suasana hati yang muncul akibat perbedaan emosi dan dipengaruhi fakor internal dan eksternal. Sehingga timbul berbagai macam emosi seperti, gembira, marah, sedih, iri hati, dll.
Respon tubuh terhadap timbulnya emosi yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan tubuh secara fisiologis, sperti denyut jantung menjadi cepat, muka memerah, peredaran darah menjadi cepat, bulu roma berdiri dll. Dan bagaimanakah kita dapat memelihara dan menjaga emosi.
Meskipun semua orang tahu apa yang dimaksud dengan intelegensi atau kecerdasan, namun sukar sekali untuk mendefinisikan hal ini secara tepat. Banyak sekali definisi yang diajukan para sarjana, namun satu sama lain berbeda, sehingga tidak dapat memperjelas persoalan.
Banyak pakar psikologi yang memberikan definisi Intelegensi.Claparedese danStern memberikan definisi intelegensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru. K. Bluher mendefinisikan intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Sedangkan menurut David Wechsler,Intelegensi adalah kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan yang menjelaskan ciri-ciri dari intelegensi:
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rsional. Oleh karena itu, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulakan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berfikir rasional itu.
2. Intelegensi tecermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya.
Dalam psikologi, pengukuran intelegensi dilakukan dengan menggunakan alat-alat psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran intelegensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat menyataakan tinggi rendahnya intelegensi yang diukur, yaitu IQ (Intellegence Quotioent).
Secara umum kita dapat mengatakan bahwa intelegensi tidak hanya merupakan suatu kemampuan untuk memecahkan berbagai persolan dalam bentuk simbol-simbol(seperti dalam matematika), tetapi jauh lebih luas menyangkut kapasitas untuk belajar kemampuan untuk menggunakan pengalaman dalam memecahkan berbagai persoalan, serta kemampuan untuk mencari berbagai alternatif.
Contoh perbuatan yang menyangkut intelegensi: Jika seseorang mengamati taman bunga, ini adalah persepsi. Tetapi kalau ia mengamati bunga-bunga yang sejenis atau mulai menghitung, manganalisa, membandingkan dari berbagai macam bunga yang ada dalam taman tersebut, maka perbuatanya sudah merupakan perbuatan yang berintelegensi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
c. Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.


d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang individu, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.
Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. seperti yang dikatakan Van den den Daele (Hurlock : 2 ) bahwa perkembangan adalah perubahan secara kualitatif. Ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Perkembangan juga diartikan sebagai ”peruibahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”, Perkembangan dapat diartikan ” suatu proses perubahan pada diri individu atau organisme, baaik fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis progresif, dan berkesinambungan”,(Syamsu Yusuf : 83 ). Dan semua para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan perkembangan itu adalah suatu proses perubahan pada seseorang kearah yang lebih maju dan lebih dewasa, naqmun mereka berbeda-beda pendapat tentang bagaimana proses perubahan itu terjadi dalam bentuknya yang hakiki. (Ani Cahyadi, Mubin, 2006 : 21-22). Hubungannya dengan intelektual anak bahwa inteligensi anak bahwa ineligensi bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatui fiksi ilmiah untuk mendeskripsiskan prilaku induvidu yang berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Dalam mengartikan inteligensi (kecerdasan) ini, para ahli mempunyai pengertian yang beragam. Diantaranya menurut C.P. Chaplin (1975) mengartikan inteligensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif (Syamsu Yusuf : 106).

B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam makalah ini adalah hakekat intelegensi, tepri-teori intelegensi, pengukuran intelegensi, multiple intelegensi, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dan bagaimana proses perkembangan intelelektual anak hubungannya inteligensinya di dalam proses pendidikan.
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Pertama: Pendahuluan, meliputi Latar Belakang Masalah, Prosedur Pemecahan Masalah dan Sistimatika Uraian. Kedua: Isi atau bagian teori meliputi pendapat ahli mengenai intelegensi. Ketiga: terdiri atas kesimpulan dan saran yang merupakan penutup dari makalah ini. Yang terakhir daftar pustaka yang menjadi rujukan dalam penulisan makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Hakekat Intelegensi
Pada umumnya orang berpikir menggunakan pikiran (intelek)-nya. Cepat tidaknya dan terpecahkan atau tidaknya suatu masalah tergantung kepada kemampuan intelejensinya. Melihat dari intelejensinya seseorang dapat dikatakan pandai atau bodoh, pandai sekali atau dungu. Intelejensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara yang tertentu.
Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga bersalal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan “Nous”, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”. Istilah intelegensi (latin:intelligare) berarti menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain. William Stern menyatakan bahwa intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan mempergunakan akal. Jadi semacam proses adjustment.

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: Intelegensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya.
Dari berbagai pengertian tentang intelegensi, dapat ditarik kesimpulan bahwa intelegensi adalah kemampuan dasar seseorang dalam bertindak dalam suatu lingkungan atau keadaan tertentu dengan tepat.

B. TEORI-TEORI INTELEGENSI
Dalam menggambarkan secara sepintas tentang intelegensi sebagai suatu kemampuan dasar yang bersifat umum telah berkembang berbagai teori intelegensi diantaranya adalah:
1. Teori Daya
Teori ini dapat dipandang sebagai teori yang tertua. Teori ini mengungkapkan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya misalnya seperti ingatan, fantasi, penalaran, deskriminasi dan sebagainya. Masing-masing daya pada jiwa manusia terpisah antara satu dengan yang lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih dengan materi yang sulit. Berdasarkan teori ini maka timbullah teori disiplin mental dalam bidang pendidikan.
2. Teori Dwifaktor (the two factor theory)
Teori ini dikembangkan oleh Charles Spearman, beliau mendasari teorinya pada analisis factor intelegensi. Menurutnya kecakapan intelektual terdiri dari dua macam kemampuan mental, yaitu intelegensi umum dan kemampuan spesifik yang akan memberi sumbangan pada setiap perilaku yang inteligen.
3. Teori Multifaktor (Multiple Factor Theory)
Teori multifactor ini dikembangkan oleh E.L.Thorndike. Menurutnya intelegensi itu adalah pertalian aktual maupun potensial yang khusus antara stimulus dan respons. Dia mengemukakan empat atribut intelegensi, yaitu:
- tingkatan
- rentang
- daerah
- kecepatan
4. Teori Primary Mental Ability
Teori ini dikembangkan oleh L.L Thurstone, berdasarkan analisis faktor. Menurut teori ini intelegensi tidak terdiri dari dua faktor atau multifaktor, akan tetapi terdiri dari sejumlah kecakapan-kecakapan mental yang primer. Ada beberapa faktor primer dalam intelegensi, yaitu:
- Verbal Comprehention (V)
- Number Facility (N)
- Spatial Relation (S)
- Word Fluency (W)
- Memory (M)
- Reasoning (R)
- Perceptual Speed (P)
- Induction (I)
5. Teori Struktur Intelek (structure of intellect model)
Teori strukturintelek dikembangkan oleh Guilford. Dalam teorinya ia mengklasifikasikan intelegensi menjadi tiga dimensi, yaitu operasi, isi dan produk yang masing-masing terdiri dari kecakapan intelek.
6. Teori Hierarkis (hierarchical theories)
Teori ini berusaha mengungkapkan skema organisasi faktor-faktor kecakapan intelek dan memberikan gambaran secara hierarkis hubungan antara faktor-faktor intelek mulai dari yang bersifat umum sampai ke yang spesifik.

C. PENGUKURAN INTELEGENSI
E. Seguin, (1821-1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan sebuah papan berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental. Alfred Binet dan Victor Henri, yang kemudian terkenal dengan Skala Binet Simon.
Pengukuran intelegensi dapat dilakukan secara:
- KUALITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena kualitas individu yang berbeda.
- KUANTITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena terdapat perbedaan kuantitas individu.
1. ALFRED BINET
® TES STANFORD BINET
IQ = MA/CA x 100
IQ = Intelligence Quotient
MA = Mental Age
CA = Chronological Age
Klasifikasi IQ Menurut Stanford-Binet
KLASIFIKASI IQ
Genius 140 ke atas
Sangat cerdas 130 – 139
Cerdas (superior) 120 – 129
Di atas rata-rata 110 – 119
Rata-rata 90 – 109
Di bawah rata-rata 80 – 89
Garis Batas (bodoh) 70 – 79
Moron (lemah pikir) 50 – 69
Imbisil,idiot 49 ke bawah



2. DAVID WECHSLER
® Wechsler-Bellevue Intellegence Scale (1939)
® Wechsler Intellegence Scale for Children (1949)
® Wechsler Adult Intellegence Scale (1955)

Klasifikasi IQ Menurut Wechsler

KLASIFIKASI IQ
Very Superior 130 ke atas
Superior 120 –129
Bright Normal 110 –119
Average 90 – 109
Dull Normal 80 – 89
Borderline 70 –79
Mental Deffective 69 ke bawah
Kurve Normal Dalam Intelegensi
D. KECERDASAN EMOSI
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal.
Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002 : 17).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

E. KECERDASAN SOSIAL
Hal yang menyebabkan kecerdasan sosial dilatarbelakangi oleh proses pendidikan di keluarga maupun masyarakat. Penanaman nilai-nilai pendidikan di keluarga, acapkali hanya mengejar status dan materi. Orang tua mengajarkan pada anaknya bahwa keberhasilan seseorang itu ditentukan oleh pangkat atau kekayaaan yang dimilikinya. Masyarakat juga begitu, mendidik orang semata mengejar tahta dan harta. Proses ini tampak pada masyarakat yang lebih menghargai orang dari jabatan dan kekayaan yang digenggamnya. Kondisi ini membuat orang terobsesi untuk memperoleh kedudukan tinggi dan kekayaan yang berbuncah-buncah agar terpandang di masyarakat. Untuk mengejar ambisi tersebut orang kadang menanggalkan etika dan moral, bahwa cara yang ditempuh untuk mewujudkan impiannya itu bisa menyengsarakan orang lain.
Akibat yang ditimbulkan dari kecerdasan sosial yang tidak terasah pada individu adalah memberi kontribusi pada perilaku anarkis. Hal ini dikarenakan individu yang kecerdasan sosialnya rendah tidak akan mampu berbagi dengan orang lain dan ingin menang sendiri. Kalau dia gagal akan melakukan apa saja, asal tujuannya bisa tercapai, tak peduli tindakannya merusak lingkungan, dan tidak merasa yang dikerjakannya menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga diskripsi kepribadian seperti ini, berpotensi melakukan perilaku anarkis, ketika hasrat pribadinya tidak tercapai atau sedang menghadapi masalah dengan orang atau kelompok lain.
Betapa pentingnya peranan kecerdasan sosial untuk mencegah perilaku anarkis, maka perlu dicari solusi untuk mengembangkan kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial menjadi solusi efektif meredam anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi, mempunyai seperangkat keterampilan psikologis untuk memecahkan masalah dengan santun dan damai.
Keterampilan psikologis itu berkaitan dengan kecakapan keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh seseorang. Keterampilan sosial merupakan indikator untuk melihat seseorang kecerdasan sosialnya tinggi atau rendah. Seseorang memiliki kecerdasan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap. Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau sosial). Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi, melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-orang atau peristiwa.
Kedua, punya kemampuan charity. Yaitu kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain.
Ketiga, berkembang empathy. Kemampuan individu melakukan hubungan dengan orang lain pada pada tingkat yang lebih personal.
Keempat, terampil interaction style. Individu memiliki banyak skenario saat berhubungan dengan orang lain, luwes, dan adaptif memasuki situasi berbeda-beda.
Dengan keterampilan sosial yang tertanam dalam diri dapat menjadi pijakan, apabila tujuannya mengalami hambatan atau menghadapi masalah dengan orang lain. Keterampilan tersebut juga bermanfaat, ketika keinginannya ada rintangan atau dirinya sedang punya masalah dengan orang atau kelompok lain. Dia akan mengobservasi, mengamati, dan mencari tahu berkaitan dengan problem yang sedang dihadapinya. Hasil dari pencariannya tersebut, dapat menjadi pondasi untuk menentukan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah.
Setelah ditemukan strategi efektif untuk memecahkan masalah, lalu dikomunikasikan kepada orang lain dengan empati. Dari proses ini dapat terjalin hubungan interpersonal mendalam yang bisa membuka sekat-sekat perbedaan, membincangkan berbagai masalah dari hati ke hati, mencari jalan terbaik yang memberi kemaslahatan semua pihak, dan luwes menerapkan pola yang sudah ditemukan untuk menyelesaikan masalah dengan disesuaikan pada situasi. Apabila upaya ini diterapkan, tentu akan menghasilkan kedamaian dan kesantunan dalam menyelesaikan setiap persolaan.
Agar kecerdasan sosial menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah, perlu ada gerakan memahamkan, membudayakan, dan mengimplementasikan kecerdasan sosial di tengah-tengah komunitas masyarakat. Untuk mewujudkan gerakan tersebut, diperlukan sumbangsih dari berbagai elemen masyarakat.

F. KECERDASAN SPIRITUAL
Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ:Spiritual Intellegence, Bloomsbury, Great Britain).
Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik.
Mengingat kunci keberhasilan seseorang adalah kualitas SQ yang mampu meningkatkan kompetensi EQ didukung oleh IQ. Dengan memiliki kualitas IQ yang tinggi, didukung oleh kualitas EQ yang tinggi pula, kita dapat menjadi seseorang yang integratif.
Kecerdasan spiritual (SQ) akan memberikan value (nilai kebenaran) kepada kecerdasan emosional baik yang bersumber dari norma-norma pergaulan, adat istiadat, budaya, kepercayaan, hukum maupun agama. Nilai kebenaran yang dipancarkan akan meningkatkan kecerdasan emosional dan kemudian akan menciptakan sesuatu (pola pikir, pola sikap dan pola tindak) yang bermakna atau bermanfaat, bukan saja hanya untuk kepentingan diri sendiri dalam kaitannya dengan proses intrapersonal, tetapi juga bagi orang lain atau lingkungannya, dalam proses interpersonal. Tanpa kecerdasan spiritual, tidak akan mungkin kita dapat membangun emosional yang bermakna positif, yang berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual menjadi sesuatu yang bermanfaat.

G. IMPLEMENTASI INTELEGENSI DALAM PRAKTIK PENDIDIKAN
Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996:178) adalah: ”Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”
Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hany a menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja(Goleman, 2002 : 17).
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Intelegensi merupakan kemampuan dasar seseorang dalam bertindak dalam suatu lingkungan atau keadaan tertentu dengan tepat.
Faktor yang mempengaruhi intelejensi
1. Pembawaan
2. Kematangan
3. Pembentukan
4. Minat dan pembawaan
5. Kebebasan
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan.
Dalam menggambarkan secara sepintas tentang intelegensi sebagai suatu kemampuan dasar yang bersifat umum telah berkembang berbagai teori intelegensi diantaranya adalah:
1. Teori Daya
2. Teori Dwifaktor (the two factor theory)
3. Teori Multifaktor (Multiple Factor Theory)
4. Teori Primary Mental Ability
5. Teori Struktur Intelek (structure of intellect model)
6. Teori Hierarkis (hierarchical theories)
Pengukuran intelegensi dapat dilakukan secara:
- KUALITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena kualitas individu yang berbeda.
- KUANTITATIF ® Perbedaan intelegensi disebabkan karena terdapat perbedaan kuantitas individu.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Seseorang memiliki kecerdasan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap. Sikap tersebut adalah pertama, tumbuh social awareness (kesadaran situasional atau sosial). Maksud dari social awareness adalah kemampuan individu dalam mengobservasi, melihat, dan mengetahui suatu konteks situasi sosial, sehingga mampu mengelola orang-orang atau peristiwa. Kedua, punya kemampuan charity. Yaitu kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain. Ketiga, berkembang empathy. Kemampuan individu melakukan hubungan dengan orang lain pada pada tingkat yang lebih personal. Keempat, terampil interaction style. Individu memiliki banyak skenario saat berhubungan dengan orang lain, luwes, dan adaptif memasuki situasi berbeda-beda.
Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik.

B. SARAN
Implementasi intelegensi dalam praktik pendidikan diperlukan peran guru/pendidik dan pengembangan intelegensi siswa baik emosi intelegensi, sosial intelegensi, spiritual intelegensi dan multiple intelegensi. Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa.
Selain siswa, guru juga harus mengembangkan kecerdasannya, dalam pengelolaan kelas, berhubungan dengan lingkungan dan pengelolaan emosi. khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Emotional Spiritual Quotient, Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001.
Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
http://kentanks.blogspirit.com/archive/2006/03/04/intelegensi-dan-iq.html
http://www.sman1-bna.sch.id/index.php?option=com content&view=article&id=65:mengapa-kecerdasan-emosional-penting&catid=40:pendidikan&Itemid=93.
http://www.uad.ac.id/in/arsip-berita/98-mengembangkan-kecerdasan-sosial.html?start=1
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2007.
Setyobroto, Sudibyo, Psikologi Suatu Pengantar, Jakarta: Percetakan SOLO, 2001.
Sukardi, Dewa Ketut dan Desak P.E. Nila Kusmawati, Analisis Tes Psikologi Teori dan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Suroso, Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ (The ESQ Based The Integratif Leadership), Jakarta: Bars Media Komunikasi, 2004.

PENDEKATAN BEHAVIORAL DALAM PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Manusia terus belajar sepanjang hidupnya. Hampir semua pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku manusia dibentuk, diubah, dan berkembang melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga dapat terjadi kapan saja, dan di mana saja.
Belajar merupakan suatu kegiatan berproses. Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatannya adalah pendekatan behavioral. Pendekatan behavioral dalam pembelajaran merupakan suatu pendekatan yang menekankan pembelajaran melalui aspek-aspek yang dapat dilihat (observable). Menurut teori behavioral, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Lebih tepatnya, belajar adalah perubahan yang dialami seseorang dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap belajar apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
Pendekatan behavoristik memiliki pandangan atau prinsip yang dikembangkan oleh beberapa tokoh behavioral. Hal inilah yang akan dibahas dalam makalah ini, termasuk bagaimana menggunakan prinsip-prinsip tingkah laku tersebut untuk mengubah atau memodifikasi perilaku dan menerapkannya dalam pembelajaran.

BAB II
PENDEKATAN BEHAVIORAL DALAM PEMBELAJARAN

A. Teori Belajar di dalam Behavioral
1. Classical Conditioning (Pengkondisian Klasik)
Classical Conditioning dipopulerkan oleh Ivan P. Pavlov (1849-1936). Istilah ini sering juga disebut dengan “Respondent Conditioning” atau “Pavlovian Conditioning”. Classical Conditioning adalah tipe pembelajaran dimana seseorang belajar untuk mengkaitkan atau mengasosiasikan stimulus (Santrock, 2007).
Pavlov mengemukakan beberapa prinsip dalam classical conditioning, yaitu:
1. Generalisasi.
Generalisasi adalah kecendrungan dari stimulus baru yang mirip dengan CS untuk menghasilkan respon yang sama.
Ada 2 fakta generalisasi yang perlu diperhatikan (Elliot, 1999):
a. Setelah pengkondisian terhadap stimulus, terjadi keefektifan dan tidak terbatas pada stimulus itu saja.
b. Ketika suatu stimulus menjadi kurang mirip dengan yang digunakan pada awalnya, maka kemampuan untuk menghasilkan respon akan berkurang.
2. Diskriminasi.
Diskriminasi yaitu peresponan terhadap stimulus tertentu tetapi tidak merespon stimulus lainnya. Dalam eksperimen Pavlov, Pavlov memberi makan anjing setelah bel berbunyi dan tidak memberi makan setelah membunyikan suara lainnya. Akibatnya anjing hanya merespon suara bel.
3. Pelenyapan (extinction)
Dalam classical conditioning, pelenyapan berarti pelemahan Conditioned Response (CR) karena tidak adanya Conditioned Stimulus (CS) (Santrock, 2007). Dalam eksperimennya, Pavlov mendapati bahwa dengan memperdengarkan bunyi bel saja (tanpa makanan) anjing tidak lagi mengeluarkan air liur.
2. Operant Conditioning (Pengkondisian Operan)
Operant Conditioning dipopulerkan oleh B.F. Skinner (1904 – 1990). Operant Conditioning dinamakan juga Instrumental Conditioning. Pemikiran Skinner awalnya didasarkan dari pandangan E.L Thorndike.
Eksperimen Thorndike:
Prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme belajar dengan cara mencoba-coba (trial and error). Thorndike juga berpendapat bahwa belajar terjadi secara perlahan, bukan secara tiba-tiba. Belajar terjadi secara incremental (bertahap), bukan secara insightful (Hergenhahn & Olson, 1997). Jika organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serangkaian tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Individu mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan tingkah laku tertentu.
Dalam proses belajar yang mengikuti prinsip trial-error ini, ada beberapa hukum yang dikemukakan Thorndike (Hergenhahn & Olson, 1997) :
a. Hukum efek (The Law of Effect)
Intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Apabila akibat hubungan S-R menyenangkan, maka perilaku akan diperkuat. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R tidak menyenangkan, maka perilaku akan melemah. Namun, Thorndike merevisi hukum ini setelah tahun 1930. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilaku (Elliot, 1999). Dengan kata lain, reward akan meningkatkan perilaku, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilaku.
b. Hukum latihan (The Law of Exercise)
Pada awalnya, hukum ini terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang.
2. Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.
Akan tetapi, setelah tahun 1930, Thorndike mencabut hukum ini. Thorndike menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan reinforcement. Latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya (Elliot, 1999).
c. Hukum kesiapan (The Law of Readiness)
Thorndike berpendapat bahwa pada prinsipnya suatu hal akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya (Leffrancois, 2000). Jika individu dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka individu akan merasa puas. Sebaliknya, jika individu dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka individu akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi (Hergenhahn & Olson, 1997).
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pengkondisian operan. Operant Conditioning adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi (Santrock, 2007).
Operant Conditioning juga memiliki beberapa prinsip, yaitu :
1. Reinforcement (penguat atau imbalan)
Reinforcement adalah konsekuensi yang akan meningkatkan probabilitas suatu perilaku terjadi lagi (McCown, Drescol, & Roop, 1996). Ada dua bentuk reinforcement :
a. Reinforcement positive (reward), yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang menyenangkan.
b. Reinforcement negative, yaitu stimulus yang akan memperkuat perilaku dimana frekuensi perilaku akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan.
Reinforcement, baik positif maupun negatif, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (McCown, dkk., 1996) :
a. Primary reinforcement, yaitu stimulus yang berupa pemenuhan kebutuhan biologis yang sifatnya tanpa perlu dipelajari.
b. Secondary reinforcement, yaitu stimulus yang bukan pemenuhan biologis yang sifatnya harus dipelajari.
c. Pairing, yaitu stimulus yang merupakan gabungan dari primary reinforcement dan secondary reinforcement. Dengan kata lain, ada dua penghargaan sekaligus yang diberikan kepada individu.
2. Punishment (hukuman)
Punishment adalah stimulus tidak menyenangkan yang akan menurunkan terjadinya perilaku (McCown, dkk., 1996). Beberapa perilaku memerlukan suatu perubahan yang sifatnya segera. Perubahan ini memerlukan suatu tindakan yang terkadang membuat individu merasa terancam secara fisik dan psikis. Hukuman adalah sesuatu yang mempresentasikan suatu stimulus baru, yang bagi individu dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan atau tidak diinginkan.
Hukuman yang diberikan dapat berupa hukuman fisik dan psikis. Beberapa format hukuman yang efektif dalam mengurangi perilaku yang bermasalah adalah:
a. Secara Verbal, yang dapat lebih efektif ketika disampaikan saat itu juga, dekat dengan perilaku yang tidak diinginkan, serta dilakukan tidak secara emosional.
b. Secara Non Verbal, misalnya kontak mata atau muka merengut.
Dari dua prinsip dasar operant conditioning tersebut, reinforcement dianggap memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam membentuk perilaku yang diinginkan. Namun, reinforcement sebaiknya diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu. Berikut beberapa macam pemberian reinforcement (Leffrancois, 2000):
a. Continuous Reinforcement
yaitu reinforcement yang diberikan pada setiap respon yang benar.
b. Intermitten atau Partial Reinforcement,
yaitu reinforcement yang tidak diberikan pada setiap respon benar, tetapi bervariasi menurut 2 kategori :
1. Pemberian penguatan berdasarkan jumlah respon (ratio schedule)
2. Pemberian penguatan berdasarkan selang waktu (interval schedule).
Waktu pemberian reinforcement dengan ratio atau interval schedule ini masih dapat dibedakan menjadi 2, yaitu fixed schedule dan random/variable schedule.
B. Strategi Mengubah Perilaku
Berdasarkan prinsip-prinsip pendekatan behavioral, ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku. Strategi ini berdasarkan dua tujuan dalam mengubah perilaku.
1. Meningkatkan perilaku yang diharapkan.
a. Memilih reinforcement yang tepat
Memilih reinforcement yang paling tepat merupakan hal yang penting karena tidak semua penguat akan mempunyai efek yang sama bagi setiap siswa. Guru sebaiknya mencari tahu reinforcement apa yang paling efektif untuk masing-masing siswa. Misalnya, untuk seorang siswa diberikan pujian, sedangkan untuk siswa lain diberi hadiah. David Premack menemukan prinsip yang menyatakan bahwa aktivitas yang berprobabilitas tinggi dapat digunakan sebagai penguat aktivitas berprobabilitas rendah (Henson & Eller, 1999). Misalnya, guru ingin membiasakan siswa untuk memakan sayuran di menu makan siang mereka. Ketika siswa berhasil menghabiskan sayuran yang ada di piringnya, kemudian guru memberikan segelas es krim kesukaan siswa.
b. Memilih schedule reinforcement yang terbaik
Pemilihan reinforcement yang tepat sebaiknya diiringi dengan pemilihan schedule reinforcement yang tepat pula. Skinner berpendapat bahwa sebuah reward kecil yang sering diberikan akan jauh lebih efektif dalam membentuk dan mempertahankan perilaku dibanding reward besar tetapi jarang diberikan (Leffrancois, 2000).
c. Menjadikan reinforcement kontingen dan tepat waktu
Reinforcement akan lebih efektif jika diberikan tepat waktu, segera setelah siswa melakukan perilaku yang diinginkan. Hal ini akan membuat siswa mampu membuat hubungan kontingensi imbalan dan perilaku mereka (Santrock, 2007).
d. Menggunakan prompt, shaping, dan chaining
- Prompt (dorongan) adalah stimulus atau isyarat tambahan yang diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon itu akan terjadi (Leffrancois, 2000). Dapat berupa dorongan verbal maupun non-verbal.

- Shaping adalah suatu prosedur dimana perilaku yang secara berturut-turut mirip dengan perilaku sasaran akan diperkuat (McCown, dkk., 1996). Shaping sangat diperlukan karena banyak perilaku baru yang sifatnya kompleks sehingga harus dipelajari secara bertahap.
- Chaining adalah stimulus tambahan yang yang diberikan untuk memperkuat perilaku sasaran dengan cara membagi perilaku menjadi beberapa bagian kecil (McCown, dkk., 1996).
2. Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan
a. Menghentikan reinforcement atau melakukan extinction (pelenyapan)
Extinction dapat digunakan untuk menghentikan perilaku yang tidak tepat atau tidak pantas (Henson & Eller, 1999). Seringkali suatu perilaku yang tidak tepat justru secara tidak sengaja dipertahankan, yaitu dengan adanya perhatian. Extincion dapat diberikan sepanjang perilaku yang dilakukan siswa bukan perilaku yang merusak secara berlebihan.
b. Menghilangkan stimulus yang diinginkan.
Penghilangan positive reinforcement ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Elliot, 1999) :
 Time out, yaitu individu kehilangan waktunya yang menyenangkan.
 Response cost, yaitu individu dijauhkan dari reinforcement positif.
Dalam penerapannya, sebaiknya time–out dan response cost harus diiringi dengan strategi untuk meningkatkan perilaku positif murid.
c. Memberikan stimulus yang tidak disukai (hukuman)
Prinsip dasar hukuman adalah menurunkan perilaku yang tidak tepat atau tidak diinginkan. Hukuman akan lebih efektif dilakukan jika sebelumnya didahului dengan peringatan dan digunakan untuk mengkomunikasikan kepada siswa, perilaku apa yang salah atau tidak tepat (Azrin & Holz; Walters & Grusec, dalam Henson & Eller, 1999). Namun, hukuman sebaiknya tidak sering diberikan karena memiliki sisi atau dampak negatif. Suatu penelitian juga menemukan bahwa ketika orang tua menggunakan tamparan untuk mendisiplinkan anak mereka saat masih berusia 4 atau 5 tahun, tamparan itu justru meningkatkan perilaku bermasalah (McLoyd & Smith dalam Santrock, 2007).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendekatan behavioral dalam pembelajaran menekankan pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui proses yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut pandangan ini, pemikiran, perasaan, dan motif bukan subyek yang tepat untuk ilmu perilaku sebab semua itu tidak bisa diobservasi secara langsung. Pembelajaran pada teori ini menekankan kepada pembelajaran asosiatif, yaitu dua kejadian yang saling terkait. Misalnya, pembelajaran asosiatif terjadi ketika murid mengaitkan kejadian yang menyenangkan dengan pembelajaran sesuatu di sekolah.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
1) Mementingkan pengaruh lingkungan
2) Mementingkan bagian-bagian (elementalistik)
3) Mementingkan peranan reaksi
4) Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
5) Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
6) Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
7) Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Kelebihan Teori Belajar Behavioristik
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behavioristik akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kekurangan Teori Belajar Behavioristik
Kritik terhadap behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasarkan karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.

B. Saran
- Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, pendekatan behavioral cukup efektif dalam proses belajar yang hanya melibatkan proses mental sederhana dan pembiasaan perilaku yang membutuhkan control external. Sebagai saran, untuk pembelajaran yang melibatkan proses mental yang lebih kompleks dapat digunakan pendekatan yang lain atau kombinasi pendekatan behavioral dengan pendekatan yang lain.
- Pengkondisian adalah yang paling penting dari teori ini
- Dalam olahraga (terkait dengan teori behavioristik):
 Pengulangan-pengulangan yang menghasilkan “otomatisasi” ---- menjadi permanen.
 Pola pengajaran yang kurang tepat membuat siswa melakukan hal-hal yang sudah permanen –salah-, membuat kita mengalami kesulitan untuk memprebaikinya kembali. Sehingga yang harus dilakukan adalah penyiapan SDM/guru penjas dimulai dari PAUD dan SD.


DAFTAR PUSTAKA


1) Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J., & Travers, J. F. 1999. Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. New York: McGraw-Hill Book Company.

2) Henson, K. T & Eller, B. F. 1999. Educational Psychology for Effective Teaching. Wadsworth : Wadsworth Publishing Company.

3) Hergenhann, B. R. & Olson, M. H. 1997. An Introduction to Theories of Learning: Fofth Edition. NJ : Prentice-Hall.

4) Lefrancois, Guy, R. 2000. Psychology for Teaching. London: Thomson Learning.

5) McCown, R., Drescoll, M., & Roop, P. R. 1996. Educational Psychology : Learning- Centered Approach to Classroom Practice. Boston : Allyn & Bacon.

6) Brandi Davison, 2006. Behavioral, Cognitive, and Humanitic Theories of Learning. Associated Content. http://mobile.associatedcontent.com/article/94979/behavioral_cognitive_and_humanistic.html.
7) Irene Chen, 2010. Behavioral Theories. An Electronic Textbook on Instructional Technology, http://viking.coe.uh.edu/~ichen/ebook/et-it/behavior.htm.
8) AllPsych & Heffner Media Group, 2003. Psychology 101, Chapter 4: Learning Theory and Behavioral Psychology. http://allpsych.com/psychology101/learning.html.
9) Learning Theories, 2010.Behaviorism.Learning-Theories.com. http://www.learning-theories.com/behaviorism.html
10) W. Huitt & J. Hummel, 1999.Behavioral Theories: Define and Contrast The Tree Types of Behavioral Learning Theories. http://teach.valdosta.edu/../behthr.ppt