I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perbindangan tentang prestasi atlet dalam bidang olahraga, tentu saja akan lebih dulu mengkedepankan masalah kondisi fisik. Kenyataan tersebut sudah dilihat dari sisi nilai kesejahteraan kondisi fisik dengan prestasi.
Pada dasarnya, prestasi atlet dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi kondisi fisik dan psikis, sedangkan faktor eksogen antara lain meliputi kesejahteraan atlet, kalender kompetisi yang tetap, pelatih yang berkualitas, sarana dan prasarana olahraga. Akan tetapi yang menjadi modal dasar dan sangat penting dalam upaya pencapaian prestasi tersebut adalah faktor endogen. Dengan demikian, sebagai modal yang penting dan harus dimiliki setiap atlet, seyogianyalah kondisi fisik dan psikis di kembangkan secara berimbang. Selanjutnya tulisan ini akan lebih mengfokuskan pada pembahasan kondisi fisik.
Kondisi fisik merupakan keadaan fisik yang ditunjukkan oleh kemampuan komponen kondisi fisik itu sendiri atau lazim diistilahkan juga dengan nilai kualitas fisik. Kualitas fisik tidak akan meningkat dan berkembang dengan sendirinya melainkan dengan suatu proses pan jang yang biasa kita sebut dengan latihan. Latihan yang dilakukan mengetengahkan suatu istilah pembinaan kondisi fisik. Pembinaan kodisi fisif pada setiap cabang olahraga ditentukan dan disesuikan dengan jenis cabang olahraga yang akan ditekuni.
Para ahli selalu mengaitkan kondisi fisik dengan prestasi bidang olahraga. Artinya, bahwa keberhasilan seorang atlet dalam memelihara kondisi fisiknya, berhubungan erat dengan kesuksesan atlet tersebut. Semua kita sepakat bahwa kondisi fisik mutlat dimiliki bagi seorang atlet untuk mendapatkan keterampilan pada cabng olahraga. Dengan memiliki kondisi fisik yang baik akan lebih mudah untuk mengusai sutu teknik tertentu.
Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang pada istilah lain disebut sebagi ibi dari cabang olahrag, dimana didalamnya menyangkut semua tipe gerakan pada cabang olahraga, Tipe gerakan yang dimaksud adalah, jalan, lari, lempar dan lompat. Keempat jenis inilah yang terdapat pada semua cabang olahraga.
Pada dasarnya nomor lari dalam cabang atletik dibagi menjadi tiga bagian, lari jarak dekat (Sprint), lari jarak menengah (Middle Distance), dan lari jarak jauh (Long Distance). Berdasarkan hal tersebut, lari 400 meter adalah nomor lari yang dikategorikan pada nomor Sprint. Namun demikian Adrrian Metcalfe (1969) menyatakan bahwa nomor lari 400 meter merupakan perpaduan antara lari jarak dekat dan lari jarak menengah. Alasan yang di kemukakan terhadap pernyataan tersebut adalah belum adanya atlet yang mencatat waktu lari 400 meter sama dengan catatan waktu sebagai kelipan empat hasil yang diperoleh pada jarak 100 meter, atau sebagai kelipatan dua dari pada hasil yang di peroleh pada jarak 200 meter.
Untuk dapat meningkatkan kemampuan lari 400 meter, seorang pelatih harus terlebih dahulu mendeteksi dan menganalisa kebutuhan cabang olahraga tersebut, baik sekitar tentang kebutuhan energi, tipe gerakan, otot yang bertugas ataupun spesifikasi gerakan yang ada. Dengan mengetahui ini, seorang pelatih akan memasukkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyusun kerangka kerja yang tertuang dalam program latihan berjangka, baik jangka panjang ataupun jangka pendek.
2. Maksud dan Tujuan
Adapun yang menjadi maksud da tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Mengkaji dan menganalisa tentang teknik lari 400 m baik secara fisik ataupun tipe gerakan.
b. Menganalisa kebutuhan sistem energi.
c. mendeteksi model latihan yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan lari 400m.
II. BAHASAN
1. Lari 400 Meter
Engkos kokasih (1985) menyatakan bahwa lari 100 m, 200m, dan 400 meter merupakan nomor lomba jarak pendek (Sprint). Namun demikian, pada dasarnya para ahli sepakat bahwa ketiga nomor lari tersebut diatas masih dibagi lagi menjadi dua bagian lari tersebut diatas menjadi dua bagian yaitu Sprint dekat (100,200 meter), dan Sprint jauh (400 meter). Terjadinya pemisahan menjadi dua bagian nomor sprint tersebut, dialaskan pada aktivitas lari itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Doherty (1963), bahwa dalam menyelesaikan lombanya, seorang pelari 400 meter, tidak pernah berlari seperti seorang pelari 100 meter.
Adisasmita (1992) menyatakan bahwa seoarang pelari 400 meter seyogianya memiliki kekuatan, daya tahan, dan kecepatan yang baik. Selanjutnya Adisamita (1992); bahwa pelari 400 meter pada dasarnya memiliki du type, yaitu pelari 100/200 meter berdaya tahan tinggi dan pelari 800 meter berkapasitas sprint. Kemudian Fox (1992) menyatakan bahwa berdasarkan sistem energi predominan, aktivitas lari 400 meter termasuk dalam kategori anaerobik. Dengan demikian pelaksanaan aktivitas lari 400 meter sudah tentu dengan intensitas yang tinggi.
2. Prestasi Atlet
Seorang atlet atau sekelompok atlet berlatih keras secara berkesinambungan dalam bidang olahraga denngan mengorbankan tenaga, fikiran dan waktu, hanyalah untuk mendapatkan prestasi, dan prestasi yang dimaksud tidak seperti menjaga kesegaran jasmani, akan tetapi merupakan upaya menjadi orang yang nomor satu dibidang olahraganya.
Pada berbagai cabang olahraga, prestasi tersebut ada yang dapat diukur dan ada yang tidak dapat diukur. Pengertian prestasi yang dapat diukur adalah bahwa prestasi tersebut nyata hasilnya yang ditunjukkan dengan satuan ukuran. Satuan ukuran tersebut meliputi satuan waktu,satuan jarak,d an satuan berat. Sebagai contoh jauh suatu lemparan dalam lempar lembing diukur dengan satuan jarak (m dan cm). Dengan terukurnya hasil prestasi tersebut, maka hasil yang diperoleh dalam suatu perlombaan dapat disebutkan meningkat apabila melewati catatan hasil sebelumnya, dan menurun apabila hasil pertandingan atau perlombaan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan catatan hasil sebelumnya. Kemudian, cabang olahraga yang berprestasi atletnya tidak dinyatakan dalam satuan ukuran atau tidak terukur. Seperti senam, dan sepak bola, artinya hasil yang diperoleh dalam satu pertandingan atau perlombaan tidak dapat dinyatakan meningkat atau menurun dari catatan hasil sebelumnnya.
Prestasi yang dicapai seorang atlet dalam olahraga yang ditekuninya, merupakan hasil latihan. Fokus untama dalam latihan tersebut adalah meningkatkan kondisi fisik yang terdiri atas komponen kondisi fisik penunjang dominan terhadap olahraga itu sendiri.
3. Komponen Kondisi Fisik
Komponen kondisi fisik merupakan unsur-unsur kemampuan fisik pada saat melakukan aktivitas, seperti aktivitas berolahraga. Komponen kondisi fisik tersebut terdiri atas, daya tahan umum, kecepatan, kekuatan, daya tahan otot, daya ledak, kordinasi, keseimbangan, kelenturan, ketepatan dan kecermatan. Kesepuluh komponen kondisi fisik tersebut diatas, dibutuhkan dalam melakukan aksi dalam aktivitas olahraga.
Tentu saja satu cabang olahraga membutuhkan komponen kondisi fisik yang berbeda dengan cabang olahraga lainnya. Namun demikian, cabang olahraga yang berbeda dapat saja membutuhkan satu atau dua komponen kondisi fisik yang sama.
Selanjutnya perlu dituliskan defenisi atau pengertian komponen kondisi fisik yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini yaitu:
a. Daya tahan otot yaitu kemampuan otot lokal untuk bekerja dalam waktu yang lama, baik dalam situasi aerobik maupun anaerobik, tanpa mengalami kelelahan yang berarti setelah melakukan aktivitas tersebut(Bompa,1999).
b. Kecepatan yaitu kemampuan untuk menempuh jarak tertentu dengan waktu sesingkat-singkat mungkin. (Bompa 1999).
c. Kekuatan yaitu kemampuan otot untuk membangkitkan tegangan terhadap suatu tahanan(Bompa,1999).
d. Daya ledak yaitu kemampuan otot untuk mengatasi tahanan dengan kontraksi yang sangat cepat. (Fox, 1992).
4. Kebutuhan Sistem Energi lari 400 meter
Semua aktivitas makhluk hidup termasuk manusia, membutuhkan energi. Sumber utama energi adalah matahari. Dalam tubuh manusia energi yang berasal dari makanan berada dalam bentuk energi kimia yang antara lain Adenosin Tri Phosfat (ATP), yang dapat diubah menjadi energi kerja atau gerak. Apabila ATP tersebut dipecahkan menjadi Adenosin Di Phosfat (ADP) Phosfat Inorganik (PI), akan menghasilkan energi yang dapat dipakai untuk kontraksi otot.
Persedian ATP di otot sangat terbatas, sehinga untuk menjaga kelangsungan kontraksi otot, maka persediaan ATP harus segera di penuhi kembali. Upaya untuk membentuk kembali ATP dapat di tempuh dengan sistem anaerob atau sistem aerob. Sistem anaerob berkaitan dengan sistem ATP (Phisfocreatin (ATP-PC) dan glikolisis anaerob (Embden Meyerhoff) yang berhasil akhirnya adalah asam laktat sedangkan pada sistem aerob glukosa akan dipecah menjadi Co2 dan Ho2 melalui proses glikolisis aerob dan siklus trikanboksilat.
Para ahli fisiologi seperti Fox (1988) menyatakan bahwa sistem ATP-PC dalam proses olahgerak, hanya dapat di pertahankan selama 10 detik. Dengan demikian, sistem ATP-PC dipakai dalam gerakan yang cepat, eksplosif, dan kuat.
Pada glikolisis anaerob, dari 1 mol glukosa akan menghasilkan 2 mol ATP dan asam laktat. Dalam proses olahgerak, proses glikolisis anaerob dapat dipertahankan kelangsungan antara 1-3 menit energi harus di sediakan melalui proses glikolisis aerob yang memerlukan O2 sebagai bahan utama untuk membentuk ATP.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut diatas, Fox (1992) mengungkapkan, bahwa aktivitas lari 400 meter merupakan kategori olahraga yang terutama menggunakan energi yang memperoleh dengan sistem anaerob, yaitu 80 % sistem glikolisis anaerob dan sisanya yang 20 % diperoleh dari proses glikolisis aerob.
Sejalan dengan penggunaan energi yang diperoleh dari sistem anaerob tersebut telah diasumsikan bahwa dalam aktivitas yang singkat, dengan intensitas tinggi, seperti lari 400 meter, komponen fisik yang menentukan adalah kecepatan, kekuatan, daya ledak dan daya tahan otot.
6. Metode Meningkatkan Lari 400 m
Fox (1992) menyatakan bahwa untuk mengembangkan komponen kondisi fisik kecepatan, dapat ditempuh dengan latihan acceleration sprint, hollow sprint, dan interval sprint. Artinya, latihan dengan model acceleration sprint dan hollow sprint sepertinya atau hampir tidak pernah masuk dalam program latihan pelari 400 meter. Pada hal sebagai bahan bandingan dapat dikemukakan bahwa dalam program pegembangan kecepatan untuk nomor sprint lainnya seperti lari 100 meter, model latihan acceleration sprint, dan hollow sprint juga dimasukkan.
a. Interval Sprint
Sesuai dengan namanya, interval sprint merupakan suatu model latihan sprint yang dalam pelaksanaannya diselinbgi oleh interval yang berupa istirahat.
Pada dasarnya, prinsip interval sprint sama dengan prinsip interval training. Prinsip tersebut yaitu lama latihan, beban (Intensitas), ulangan(repetisi), dan masa istirahat(recovery). Berkaitan dengan hal tersebut, Harsono (1988) menyatakan bahwa biasanya pelaksanaan latihan interval training cepat seperti interval sprint dilakukan dengan lama latihan 5-30 detik, intensitas 85% - 90%, ulangan sekitar 15 kali, istirahat setiap jarak sekitar 30 detik. Fox (1992) menyatakan bahwa pelaksanaan interval sprint biasanya dilakukan dengan berlari sejauh 50 meter dengan masa istirahat jogging 60 meter, dengan intensitas maksimum, serta ulangan sebanyak 12 kali. Untuk lebih memperjelas pemahaman, bagan berikut ini merupakan bagan interval sprint.
Lari cepat
b. Hollow Sprint
Model latihan sprint adalah model latihan sprint yang pelaksanaannya berupa dua lari cepat diselingi dengan periode lambat (hollow) (Fox.1992). kemudian Smith (1983) memberikan contoh pelaksanaan hollow sprintberupa lari cepat 50 meter, lari pelan-pelan 50 meter, lari cepat 50 meter.
Untuk lebih memperjelas pengertian, bagan berikkut ini merupakan bagan pelaksanaan hollow sprint
Lari Cepat Lari Pelan Lari Cepat
Lebih lanjut Pyke (1980) menyatakan bahwa prinsip latihan hollow sprint adalah lama kerja 30 samapai 60 detik, intensitas kerja 95%, waktu pemulihan 2.5-5 menit, ulangan 5-10 kali. Fox (1992) menyatakan bahwa latihan hollow sprint akan mengembangkan kecepatan sebesar 85 %, daya tahan anaerobik 10 % , dan daya tahan aerobik sebesar 5 %. Jadi latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas anaerobik.
c. Accelerasi Sprint
Model latihan acceleration sprint sebagai bagian dari pada latihan kecepatan, adalah model latihan yang pelaksanaannya berupa dimulai dengan jogging, menambah kecepatan dan pada akhirnya melakukan lari secepat mungkin (Fox.1992).
Dengan demikan inti dari pada latihan ini adalah adanya acceleration (perobahan kecepatan) yang berupa penambahan kecepatan. Untuk lebih memperjelas pemahaman, bagan berikukt ini merupakan bagan acceleration.
Jogging Tambah Cepat Sprint
Pada dasarnya jarak tempuh atau waktu lari sprint (beban) acceleration sprint, tetap saja didasarkan pada prinsip-prinsip latihan untuk mengembangkan kecepatan. Lebih jauh Fox (1992) menyatakan bahwa acceleration sprint akan meningkatkan komponen kondisi fisik kecepatan dan kekuatan.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Lari 400 meter merupakan kategori nomor lari sprint, atau termasuk dalam aktivitas yang short duration. Sebagai aktivitas yang singkat, dan dengan intensitas yang tinggi, tentu saja aktivitas ini membutuhkan komponen kondisi fisik kecepatan yang lebih besar dibandingkan dengan komponen fisik yang perlu lainnya, seperti power, daya tahan otot, kekuatan, dan kelentukan.
Sudah tentu bahwa untuk meningkatkan kondisi fisik kecepatan adalah dengan melatih kecepatan itu sendiri. Bagi seorang pelari, jelas bahwa latihan kecepatan dimaksud adalah latihan lari cepat.
Kecepatan seseorang diperoleh setelah orang tersebut berlari cepat sejauh 50 meter atau pada antara detik kelima dan ke enam. Pada nomor lari 100 meter dan 200 meter, ketiga model latihan tersebut dipakai untuk mengembangkan kecepatan. Akan tetapi untuk mengembangkan prestasi lari 400 meter, ketiga model latihan tersebut masih diragukan keefektifannya.
Lari 400 meter merupakan salah satu nomor lomba dalam cabang olahraga atletik. Berdasarkan analisis prediminasi energi, nomor lomba ini termasuk dalam kategori anaerobik. Dengan demikian selalu ditampilkan dengan intensitas yang tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Meruntut pada kenyataan bahwa lari 400 meter termasuk lari sprint, seyogianya program latihan adalah mengarah pada peningkatan sprint itu sendiri, atau dengan kata lain lebih memfokuskan perhatian pada unsur kecepatan.
Beberapa ahli menyetujui bahwa upaya untuk meningkatkan kemampuan fisik kecepatan adalah dengan model latihan yang berupa interval sprint, hollow sprint, dan acceleration sprint. Namun demikian, berdasarkan pengamatan dilapangan kenyataan ini tidak diikuti oleh para pelatih. Artinya latihan lebih diandalkan adalah interval sprint, dengan mengabaikan kedua model latihan lainnya. Untuk difikir perlu mengadakan suatu kajian penelitian untuk menemukan informasi tentang perbedaan pendapat tersebut diatas.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan membagi tiga kelompok subyek penelitian, dan masing-masing kelompok terdiri atas sepuluh orang coba.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa untuk ketiga kelompok model latihan, hasil tes akhir menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan lari 400 meter. Peningkatan tersebut signifikan pada taraf kepercayaan 5 %. Kemudian, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 5 % tidak ada perbedaan peningkatan kemampuan lari untuk ketiga kelompok model latihan.
Dapat disimpulkan bahwa ketiga model latihan dapat secara nyata memberikan sumbangan bagi peningkatan kemampuan lari 400 meter. Kemudian, dapat juga disimpulkan bahwa ketiga model latihan memiliki nilai efektif yang sama dalam upaya meningkatkan kecepatan. Untuk itu disarankan kepada para pelatih, pembina lari 400 meter agar ketiga model latihan tersebut senantiasa dimasukkan dalam penyusunan program latihan, secara kontiniu dan bervariasi.
B. Saran
Dari hasil uraian di atas di sarankan bagi pelatih cabang olahraga atletik, hendaknya mengkaji terlebih dahulu tentang kecabangan khususnya lari 400m baik secara fisiologi atau hal lainnya. Sehingga dapat diprediksi tentang kebutuhan energi, fungsi otot dan memilih model latihan yang tepat untuk meningkatkan lari 400m
Tulisan di atas dapat menjadi acuan dalam mengembangkan kemampuan lari 400m. Kemudian dapat juga menjadi dasar dalam menuyusun program latihan baik secara umum ataupun khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, M. Yusuf. Olahraga Pilihan Atletik, Jakarta: LP2TK. Dirjen Dikti. 1992.
Bompa, Tudor O. Periodization Training for Sport. York University: Human Kinetics. 1999.
Doherty, S Kenneth. (1963). Modren Track and Field. Prentice Hall, INC. Englewood, Cliffs.
Fox, edwar L. Dan Bowers Richard W. Sports Physiology, third edition, Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Publishers, 1992.
Harsono. Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Bandung. Pioner jaya. 1988.
Kosasih Engkos,(1985) Olahraga Teknik dan Program Latihan. Penerbit Akademika. Presendo. CV.Jakarta
Pyke, Frank S. (1980). Toward Better Coadhing. Canberra Australian Government Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar