belajar untuk meraih miimpi...
wen assallamualaikum..
Pendidikan dan Kekuasaan
Dalam memahami
pendidikan kaum tertindas Freire mencoba memaparkan siswa sebagai subjek dalam
proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan sebagai objek
selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya kaum
tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung
menjadikan dirinya penindas, atau penindas kecil. Dalam pikirannya selalu
melekat ketidakmungkinan untuk terlepas dari belenggu kekuasaan, dan oleh
karena itu upaya untuk menindas kembali merupakan suatu hal yang dapat sedikit
meringankan beban mereka. Semua ini terjadi karena pada momentum tertentu,
dalam pengalaman eksistensial mereka cenderung mengambil sikap “melekat” kepada
penindasnya. Dalam keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan dapat melihat
“manusia baru” karena manusia itu harus dilahirkan dalam pemecahan kontradiksi
ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah
pembebasan.
Dalam konteks kesadaran kritis benda-benda dan fakta-fakta ditampilkan secara
empirik, dalam kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar.
Dalam pengertian lain, kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri
dengan realitas, yang pada akhirnya lambat-laun akan diikuti oleh aksi atau
tindakan. Karena sekali manusia menemukan dan menangkap adanya tantangan,
memahaminya, dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka ia akan
bertindak.
Konsep pendidikan melalui kesadaran kritis merupakan suatu bentuk “kritisisme
sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak
bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu berhubungan dengan
masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup
keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan
mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga
pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan
pola pembahasaan yang bernuansa sosiohistoris.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum,
galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak
hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang
menindas, tetapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam
itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan
dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka
harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk
melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap
berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari pendidikan
kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire, pendidikan
revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas
utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya,
pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran
kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas
pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis, kini menjadi
jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk
“masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak
berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.
“Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia. Menjadi
manusia adalah mengalami dunia sebagai realitas objektif, yang tidak bergantung
pada siapapun. Sedang binatang tenggelam dalam realitas dan tidak dapat
berhubungan dengan dunia…mereka (manusia) tidak hanya di dalam dunia, tetapi
ada bersama dengan dunia…Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka
memahami data-data objektif dari realitas melalui refleksi dan bukan refleks
seperti halnya binatang…dan dalam setiap aktivitasnya manusia selalu
berhubungan dengan dimensi waktu yang membentuk sejarah kebudayaan manusia.”Dari kemampuan kritis
tersebut manusia mampu untuk merubah pilihan dan mengubah realitas. Karena
seseorang tidaklah utuh bila ia kehilangan kemampuan memilih. Manusia yang utuh
adalah manusia sebagai subjek dan mampu bereksistensi (to exist). Dalam hidup
manusia tidak boleh mendapatkan intervensi dalam bentuk opresi dari manapun,
karena bentuk penindasan akan mereduksi eksistensi dari manusia itu sendiri.
Namun, apa yang sedikit banyak terjadi dalam dunia yang sudah dikotak-kotakkan
menjadi “dunia-dunia” adalah bahwa manusia pada umumnya sudah ditindas,
direndahkan, diubah menjadi penonton, diarahkan oleh mitos-mitos yang
diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang penuh kuasa. Dalam pengertian
lain pada saat ini seluruh aspek kehidupan manusia telah dipenuhi oleh
penindasan karena praktik kekuasaan.
Oleh karena itu, setiap manusia kini dituntut untuk menumbuhkan suatu
“kesadaran kritis” yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah,
keterangan-keterangan yang bersifat magis digantikan oleh prinsip-prinsip sebab
akibat, menolak peran-peran pasif dengan lebih mengedepankan dialog, dan tidak
akan pernah berhubungan dengan kekerasan dan penindasan. Kesadaran kritis juga
harus dibarengi dengan “conscientizacao” yang mencerminkan perkembangan
bangkitnya kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar