belajar untuk meraih miimpi...

wen assallamualaikum..

Rabu, 30 Januari 2013

Pendidikan dan Kekuasaan


        Dalam memahami pendidikan kaum tertindas Freire mencoba memaparkan siswa sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya kaum tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas, atau penindas kecil. Dalam pikirannya selalu melekat ketidakmungkinan untuk terlepas dari belenggu kekuasaan, dan oleh karena itu upaya untuk menindas kembali merupakan suatu hal yang dapat sedikit meringankan beban mereka. Semua ini terjadi karena pada momentum tertentu, dalam pengalaman eksistensial mereka cenderung mengambil sikap “melekat” kepada penindasnya. Dalam keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan dapat melihat “manusia baru” karena manusia itu harus dilahirkan dalam pemecahan kontradiksi ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah pembebasan. Dalam konteks kesadaran kritis benda-benda dan fakta-fakta ditampilkan secara empirik, dalam kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam pengertian lain, kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri dengan realitas, yang pada akhirnya lambat-laun akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Karena sekali manusia menemukan dan menangkap adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka ia akan bertindak. Konsep pendidikan melalui kesadaran kritis merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosiohistoris. Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis, kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan. “Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia. Menjadi manusia adalah mengalami dunia sebagai realitas objektif, yang tidak bergantung pada siapapun. Sedang binatang tenggelam dalam realitas dan tidak dapat berhubungan dengan dunia…mereka (manusia) tidak hanya di dalam dunia, tetapi ada bersama dengan dunia…Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka memahami data-data objektif dari realitas melalui refleksi dan bukan refleks seperti halnya binatang…dan dalam setiap aktivitasnya manusia selalu berhubungan dengan dimensi waktu yang membentuk sejarah kebudayaan manusia.”Dari kemampuan kritis tersebut manusia mampu untuk merubah pilihan dan mengubah realitas. Karena seseorang tidaklah utuh bila ia kehilangan kemampuan memilih. Manusia yang utuh adalah manusia sebagai subjek dan mampu bereksistensi (to exist). Dalam hidup manusia tidak boleh mendapatkan intervensi dalam bentuk opresi dari manapun, karena bentuk penindasan akan mereduksi eksistensi dari manusia itu sendiri. Namun, apa yang sedikit banyak terjadi dalam dunia yang sudah dikotak-kotakkan menjadi “dunia-dunia” adalah bahwa manusia pada umumnya sudah ditindas, direndahkan, diubah menjadi penonton, diarahkan oleh mitos-mitos yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang penuh kuasa. Dalam pengertian lain pada saat ini seluruh aspek kehidupan manusia telah dipenuhi oleh penindasan karena praktik kekuasaan. Oleh karena itu, setiap manusia kini dituntut untuk menumbuhkan suatu “kesadaran kritis” yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah, keterangan-keterangan yang bersifat magis digantikan oleh prinsip-prinsip sebab akibat, menolak peran-peran pasif dengan lebih mengedepankan dialog, dan tidak akan pernah berhubungan dengan kekerasan dan penindasan. Kesadaran kritis juga harus dibarengi dengan “conscientizacao” yang mencerminkan perkembangan bangkitnya kesadaran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar